Sabtu, 19 Maret 2011

Paper presented in a Stadium Generale at FKIP Universitas Sriwijaya in 2006 and will be publishe by Nasir Lubay

AKTUALISASI LITERASI KALANGAN INTELEKTUAL DALAM MEREPRODUKSI ILMU

Oleh

Rita Inderawati Rudy
JPBS FKIP Universitas Sriwijaya




Sepenggal metafora dari Prof. Dr. Yus Rusyana:

Karya tulis adalah bendera yang dikibarkan penulisnya. Kemanapun ia pergi, maka masyarakat akan mengenalnya lewat bendera itu.”


PENDAHULUAN

Our intellectuals lack of writing skills,” merupakan judul sebuah artikel dalam sebuah media cetak berbahasa Inggris di Indonesia. Makna yang tersirat dalam judul artikel tersebut mengindikasikan tumpulnya kreativitas literasi kalangan intelektual (Alwasilah, 1998). Kaum intelektual adalah kaum terpelajar dengan latar belakang pendidikan beragam. Keragaman pendidikan tersebut sepatutnya menumbuhkan kreativitas literasi yang dapat diinformasikan kepada publik. Mengomunikasikan ilmu pengetahuan yang tersimpan di dalam memori sebagai pengetahuan latar (background knowledge) relevan dengan bidang keahliannya, termasuk bentuk kontribusi positif dari kaum intelektual.
Tumpulnya kreativitas kemampuan baca-tulis kalangan intelektual berdasarkan studi longitudinal yang dilakukan Alwasilah (1999) terhadap 100 mahasiswa tingkat pertama yang membuahkan sederetan simpulan tentang aktivitas menulis, tampaknya menjadi kendala dengan tingkat keseriusan yang tinggi. Simpulan yang dikedepankan oleh penulis yang pernah meraih penghargaan The Indiana University School of Education’s 1990-1991/Proffitt Dissertation Award for Outstanding Achievement berkat karya disertasinya yang terpilih menjadi disertasi terbaik di Indiana University,  Bloomington,  Indiana, A.S.  adalah  sebagai  berikut:          (1)  menulis   merupakan   mata   pelajaran   yang  paling diabaikan,   baik di sekolah maupun di Perguruan Tinggi (PT); (2) menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling sulit dikuasai para siswa dan yang paling sulit diajarkan oleh para guru; (3) siswa SMU dan mahasiswa selama ini diajari menulis oleh guru atau dosen yang tidak berpengalaman; (4) pelajaran menulis lebih merupakan palajaran tata bahasa dan teori-teori menulis dengan sedikit latihan menulis; (5) pada umumnya karangan siswa dan mahasiswa tidak dikembalikan kepada mereka; dan (6) satu-satunya cara mengajar menulis adalah lewat latihan menulis. Simpulan yang memotret kendala pengajaran menulis tersebut perlu dicermati secara serius untuk meminimalkan penumpulan kreativitas menulis generasi penerus bangsa; kreativitas terimplisit di dalamnya.
            Sejalan dengan tumpulnya kreativitas literasi tersebut, kaum intelektual dihadapkan pada realita yang membawanya menjelajahi dunia intelektual, memikul tanggung jawab dengan bekal penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang kurang memadai. Tidak hanya itu, penguasaan “ala kadarnya” tentang iptek belum dikemas dengan penguasaan iman dan taqwa (imtaq). Tampaknya, pemahaman dan penguasaan iptek dan imtaq baru terbatas pada tataran slogan, belum merambah pada wilayah implikasi dan aplikasi.
Selanjutnya perlu kita sepakati sedini mungkin bahwa pemahaman dan penguasaan iptek dan imtaq, selayaknya menjadi santapan bagi bangsa Indonesia seutuhnya. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa aspek-aspek yang terkandung di dalam iptek, apalagi dalam kancah persaingan global, semakin memojokkan posisi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Indonesia semakin jauh tertinggal dari negara-negara maju yang secara sengaja menciptakan kesenjangan yang dampaknya sangat dirasakan dalam kehidupan. Sementara itu, peran imtaq dalam rangka mewujudkan penguasaan iptek belum membumi dan menyentuh, bahkan tampaknya semakin lama semakin pudar gaungnya.
Berdasarkan deskripsi di atas, tulisan ini menyoroti iptek dan imtaq dalam kehidupan bangsa Indonesia, khususnya dalam menghadapi era globalisasi, terutama dalam mengaktualisasikan budaya baca tulis. Pada skala mikro, kedua komponen wawasan dalam paparan ini secara spesifik diperuntukkan bagi kaum intelektual. Dalam kaitannya dengan rendahnya mutu literasi kalangan intelektual Indonesia, perlu ditemukan solusi yang mampu mengatasi dua permasalahan pokok yang disorot dalam tulisan ini, yaitu (1) bagaimana membangun  kaum intelektual yang berwawasan iptek dan imtaq, dan (2) bagaimana mengaktualisasikan literasi di kalangan   intelektual  yang  berwawasan  Iptek  dan  imtaq terpadu. Kedua masalah utama tersebut akan dideskripsi baik secara diskrit maupun integratif dalam beberapa bahasan.

RASIONAL


Pengenalan iptek seyogyanya telah dilakukan sejak usia dini untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang berkarakteristik, memiliki daya saing yang tinggi dalam era percaturan global. Terlambatkah intelektual muda untuk memiliki wawasan apalagi menguasai iptek? Never say late! Jangan pernah mengatakan terlambat pada hal-hal yang berkontribusi positif bagi sosok pribadi untuk mampu tampil mandiri. Belajar dan terus belajar. Learning through process. Learning by doing, John Dewey melisankan frase yang sudah sangat akrab ini untuk menyemangati para later innovative acceptor. Demikian halnya dengan imtaq, komponen yang eksistensinya masih berada dalam tataran wacana ini perlu diselaraskan dengan iptek. Namun demikian, banyak pakar dengan bidang keahlian beragam mengultimatumkan bahwa iptek adalah media untuk meraih kehidupan yang lebih baik, hanya orang yang berwawasan iptek mampu merengkuh dunia ini. Selamat meneguk madu kehidupan duniawi. Cukupkah orang  mengandalkan hidupnya pada aspek iptek belaka? Masih kurangkah “tauladan” yang  dipamerkan   para   ilmuwan,  teknokrat,  birokrat kita dengan tingginya wawasan iptek yang dimilikinya? Bangsa ini akan hancur bila demikian.
Untuk menghindari ledakan ini, tampillah imtaq sebagai panasea yang ampuh. Imtaq menjadi pengendali bom waktu yang siap meledak atau sengaja diledakkan untuk menenggelamkan bangsa ini.

MEMBANGUN KALANGAN INTELEKTUAL YANG BERWAWASAN

IPTEK DAN IMTAQ

Revolusi Industri (RI) terlahir dari iptek. Lahirnya RI menyebabkan perubahan radikal dalam usaha mencapai produksi dengan menggunakan mesin (Thornley dan Roberts, 1984). Pemberhalaan pada iptek mengakibatkan bangsa Barat menjadi budaknya karena mereka tidak mengendalikannya. Arogansi teknologi telah menciptakan kolonialisme dan imperialisme. Sementara itu, di dunia Timur, Jepang pun menjadi budak teknologinya dalam perang dunia II. Keserakahan menjadikannya bangsa yang bengis dan berakhir dengan kekalahan. Kekalahan tersebut menumbuhkan rasa mawas diri bahwa pemujaan pada iptek membawa petaka bagi penciptanya sendiri.
Pasca perang, Jepang merubah kebijakan pendidikan yang menghantarnya setaraf dengan negara-negara sekutu yang pernah mengalahkannya. Bahkan dalam beberapa hal, Jepang mengungguli mereka. Amerika, misalnya, menyepakati untuk saling mempelajari sistem pendidikan nasional untuk memperbaiki mutu pendidikan di negara masing-masing. Secara resmi, Amerika mendokumentasikan hasil studi pendidikan Jepang dalam A Report from the U.S Study of Education in Japan (1987) dengan menyebutkan keunggulan-keunggulan pendidikan di Jepang sebagai berikut :

1)         Masyarakat Jepang adalah bangsa yang berorientasi pendidikan (education minded) memiliki keyakinan bahwa sukses dalam pendidikan formal sama dengan sukses dalam kehidupan.
2)         Keberhasilan pendidikan sebagai akibat dari usaha orang tua, siswa, dan guru.
3)         Siswa mendapat pelajaran membaca, menulis, berhitung, sains, musik, dan seni yang bermutu tinggi dan berproporsi seimbang dalam kurikulum.
4)         Pendidikan Jepang dicirikan oleh pemberian motivasi yang tinggi kepada siswa yang berhasil.
Sejalan dengan deskripsi mengenai lahirnya iptek dan kebijakan pendidikan di Jepang, Indonesia dihadapkan pada informasi-informasi baru pada skala global yang mengarah pada pembentukan sebuah budaya global. Ini berarti bahwa siap tidak siap kita harus membuka diri bagi perkembangan iptek. Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa iptek  sangat dibutuhkan dalam membangun sumber  daya  menusia (SDM) yang unggul yang mampu menghantar mereka meraih kehidupan yang sukses di dunia ini.
Meskipun demikian, SDM (kaum intelektual) belum tergolong sukses bila hanya berwawasan iptek. UUSPN pasal 4 tahun 1989 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian    yang    matang      dan    mandiri   serta   rasa   tanggung   jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Ada makna lain yang tersirat di dalam pernyataan ini selain orientasi iptek, yakni mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yang berwawasan imtaq.



LITERASI DAN REPRODUKSI ILMU

Tahun 2004 The Times Higher Education Supplement memilih 200 universitas terhebat di dunia. Sepuluh terhebat tersebut adalah Harvard University, University of California Berkeley, Massachusetts Institute of Technology, California Institute of Technology, Oxford University, Cambridge University, Stanford University, Yale University, Princeton University, dan ETH Zurich Swiss (Alwasilah, 2005). Yang mengagumkan adalah masuknya empat universitas tetangga terdekat kita, yaitu National University of Singapore (ke-18), Nanyang University (ke-50), Malaya University (ke-89) dan Sains Malaya University (ke-111). Urutan ditentukan oleh    skor yang   diperoleh  dalam  lima  hal,  yaitu  penilaian oleh sejawat, jumlah dosen asing, jumlah mahasiswa asing, dan jumlah karya tulis dosen yang dikutip di forum dunia.
Tak satupun universitas di Indonesia diperhitungkan dunia bila didasarkan pada lima kriteria di atas. Karya tulis yang diangkat dalam tulisan ini adalah tulisan para dosen. Birokrat kampus cenderung menganggap enteng komponen ini, tidak secanggih dan sepenting laboratorium kimia atau bahasa. Padahal tolok ukur berkualitasnya sebuah  PT bukan hanya keberadaan fasilitas   fisik   yang   canggih, melainkan  berkembangnya  budaya   baca-tulis  (literasi) dosen. Sudah saatnya budaya baca-tulis dosen dikondisikan di kampus. Menumbuhkan suasana akademis yang kondusif di banyak kampus belum optimal. Menurut Alwasilah (2005) rendahnya budaya menulis dosen disebabkan oleh manajemen PT kurang memberikan penghargaan atas karya tulis yang diproduksi oleh dosen. Manajemen PT seharusnya membangun suatu iklim yang kondusif bagi kegiatan tulis-menulis. Kegiatan yang terstruktur dan terencana baik dapat membangkitkan minat dan semangat dosen selaku insan akademis untuk mereproduksi pengetahuan. Sebagai contoh, Universitas Sriwijaya dengan pimpinan yang inovatif sangat peduli dengan berkembangnya budaya baca tulis dengan memfasilitasi para dosen yang akan mengaktualisasikan dirinya ke berbagai seminar dan konferensi baik tingkat nasional maupun internasional di dalam dan luar negeri.
Reproduksi pengetahuan (ilmu) sebagaimana ditegaskan Alwasilah (2005) merupakan olah-ulang iptek yang diperoleh dari sumber-sumber lain. Reproduksi ilmu memiliki ciri unggulan berikut  (1)  disajikan  dalam bahasa nasional, dan (2) ditulis  dalam konteks lokal. Makna yang tersirat dari ciri yang pertama adalah bahwa kaum intelektual (ilmuwan) menyajikan hasil reproduksi ilmu dalam buku teks dan jurnal berbahasa Indonesia. Banyak ilmuwan yang mengritik rendahnya kualitas buku teks terjemahan yang sengaja diterjemahkan guna memberdayakan bahasa Indonesia sebagai bahasa iptek. Ironisnya, mereka sendiri belum pernah menerjemahkan apalagi menulis buku teks.
Sementara itu, pemahaman atas sumber ilmu hasil reproduksi seyogyanya ditulis berdasarkan konteks lokal merupakan ciri kedua dari reproduksi ilmu. Kasus-kasus lokal mestinya berpijak pada kebenaran iptek yang universal. Implikasi karakteristik tersebut bagi pembaca adalah keterlibatan  mereka  (reader involvement)  dalam  memahami  fenomena  lokal dalam konteks kebenaran universal. Eksistensi fenomena dan nilai-nilai lokal menciptakan pembaca yang menganut sindrom kepenasaran intelektual (intellectual curiousity) karena mereka dicirikan sebagai insan akademis yang apresiatif yang berupaya melestarikan budaya sendiri sehingga think global, act locally melekat dalam diri mereka.
BUDAYA TULIS VS. MINAT TULIS
Kuantitas dan kualitas literasi (kemelekwacanaan) kalangan intelektual Indonesia mengalami suatu kesenjangan (disequilibrium) yang mencuat secara drastis. Kuantitas literasi secara komparatif lebih tinggi dari negara-negara berkembang lainnya. Hal ini didasarkan pada laporan Hadi (Sekjen PWI) pada tahun 2000 bahwa 84% penduduk Indonesia melek huruf, yaitu 168 juta dari populasi 200 juta. Prosentase ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan prosentase negara-negara berkembang lainnya yaitu sekitar 69%. Sekilas, laporan PWI tersebut membanggakan. Ironisnya, setiap tahun per satu juta penduduk Indonesia hanya terbit 12 buku. Ini masih sangat minim dibandingkan dengan negara berkembang rata-rata 55 judul per satu juta penduduk bahkan mencapai 513 judul di negara-negara maju (dikutip dari Alwasilah, 2005:58).
Sementara itu, kualitas kemelekwacanaan Indonesia masih menjadi suatu hal yang sangat fenomenal. Darma (1997) manandaskan bahwa peringkat terendah dalam mengusulkan proposal ke Ditjen Dikti Diknas diduduki oleh  dosen  PT.  Kemampuan  berbahasa  Inggris  dan  keterampilan menulis mayoritas dosen tergolong rendah. Akibatnya, publikasi ilmiah mereka pada tingkat internasional sangat rendah, yakni pada urutan ke-92, jauh di bawah Malaysia, Nigeria, dan Thailand.
Selanjutnya, kesenjangan antara kuantitas dan kualitas literasi bermuara pada beberapa pemikiran berikut. Pertama, kenyataan bahwa kuantitas literasi kita lebih tinggi dari negara-negara berkembang lainnya, seharusnya tidak memuaskan hati karena batasan-batasan literasi di setiap negara bersifat heterogen dari hanya mampu membaca dan menulis dan mengisi  formulir sampai mampu berperan dalam wacana budaya secara fungsional dan profesional. Sebagai contoh, penguasaan komputer terintegrasi dengan literasi dalam kurikulum SD negara maju. Kedua, produktivitas buku negara berkembang lainnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Indikator dari rendahnya tingkat produktivitas tersebut adalah keterampilan berbahasa kaum intelektual Indonesia belum mencapai taraf produktif (menulis), baru dalam taraf reseptif (membaca). Ketiga, kesenjangan kaum intelektual yang berkarir di universitas maupun badan pemerintah dalam hal tulis menulis tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Bila dosen yang kesehariannya begitu akrab dengan buku saja belum mampu menulis buku, apalagi mereka yang melakukan rutinitas karir okupasional yang pada prinsipnya tidak kondusif untuk memunculkan produktivitas karya tulis.
Ketiga pemikiran di atas menunjukkan bukti lemahnya produktivitas menulis. Menurut Alwasilah (2000:59) hal ini disebabkan oleh alasan kultural dan pendidikan. Secara kultural, bangsa Indonesia lebih dikenal dengan budaya dengar-ucap ketimbang baca-tulis. Hasil kesusastraan lisan pun lebih beragam dibandingkan dengan kesusastraan tulis. Kekayaan sastra lisan hampir musnah sehingga generasi sekarang banyak kehilangan jejaknya.  Penyebabnya adalah sastra lisan tersebut belum terdokumentasi secara tertulis. Akar permasalahan yang paling pokok dalam hal ini adalah wacana tulis bangsa Indonesia masih lemah.
Adakah isu strategis yang mampu menjadi alternatif penyelesaian akar permasalahan tersebut? Tumbuhkan dahulu minat menulis, kembangkan budaya menulis kemudian dalam suasana akademis yang kondusif melalui mekanisme berikut: (1) bertukar informasi tentang referensi yang dimiliki masing-masing dosen, (2) melakukan kegiatan tulis-menulis yang berorientasi pada pendekatan proses, dan (3) merespon karya sastra dengan mengaplikasi strategi respons pembaca. Mekanisme yang pertama berkaitan erat dengan sumber-sumber reproduksi pengetahuan. Seorang dosen lulusan jenjang magister, misalnya, dipastikan memiliki koleksi referensi yang sesuai dengan bidang kajiannya. Bila kurangnya referensi menjadi akar permasalahan rendahnya minat tulis dosen dan mahasiswa sebagai calon intelektual masa depan maka kegiatan tukar informasi tersebut sangat bermanfaat. Dengan melakukan pertukaran informasi diharapkan satu dosen dapat memfasilitasi sejawatnya yang membutuhkan referensi, sedangkan bagi mahasiswa, dosen tersebut melakukan diseminasi pengetahuan dan gagasannya untuk memotivasi minat menulis mereka. Selanjutnya, kegiatan menulis yang berorientasi  pada pendekatan  proses  sebagaimana hasil penelitian Alwasilah (1999) bahwa siswa mengalami proses menulis, mulai mencari topik dan ide, menulis draf, merevisi, sampai publikasi tulisan. Proses menulis jauh lebih bermakna dibandingkan dengan hasilnya. Mekanisme terakhir dari alternatif pemecahan masalah adalah merespons karya sastra dengan mengaplikasi strategi respons pembaca. Hasil penelitian Rudy (2005) mengindikasikan bahwa keterampilan menulis siswa dapat meningkat karena dikembangkan dengan mengaplikasikan strategi respons pembaca. Dalam hal ini, siswa merespons karya sastra secara tertulis dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan pemandu yang tersusun dari strategi respons pembaca.
Tampaknya dua mekanisme pertama sangat sesuai dilakukan di berbagai bidang keahlian. Apapun keahlian yang dimiliki oleh seorang intelektual pasti membutuhkan kegiatan tulis-menulis dalam rangka menginformasikan gagasan ataupun pengetahuannya. Sementara itu, mekanisme yang berkaitan dengan karya sastra, apakah ada relevansinya dengan pengetahuan yang diajarkan di jurusan selain jurusan bahasa? Permasalahan itu akan dipaparkan pada bagian tersendiri.

MEMADUKAN IPTEK DAN IMTAQ DALAM KONTEKS AKTUALISASI LITERASI

Bila iptek berada dalam tatanan sains (ilmu pasti), imtaq berdiri dalam tatanan humaniora.  Humaniora bertujuan untuk membuat manusia lebih menusiawi, arif, beradab, dan berbudaya. Termasuk dalam humaniora adalah ilmu-ilmu  seperti   teologi,  filsafat,  sejarah,  psikologi,  kesenian, linguistik, dan kesastraan yang akan memainkan perannya sebagai penyejuk jiwa dan peredam gejolak kekuasaan. Dengan kata lain, humaniora menjadi penjinak bom iptek yang rawan meledak.
Oleh karena itu, manusia Indonesia umumnya, kaum intelektual khususnya harus memiliki dua wawasan sekaligus. Di satu pihak, iptek diperlukan agar mampu mempertahankan hidup, di pihak lain, imtaq mampu meredam gejolak dalam dada kaum intelektual dari arogansi kekuasaan. Kita memang sangat mendambakan kemajuan teknologi, namun teknologi bukan berhala yang harus disembah. Sebagai umat beragama, kita tidak menginginkan lahirnya Hitler lain yang menciptakan kolonialisme dan imperialisme gaya baru.
Dengan bekal perpaduan dua wawasan yang dimiliki, para intelektual dapat mengaplikasikan pengetahuan dalam konteks aktualisasi literasi. Di Indonesia, setiap tahun lahir 135.000 sampai 150.000 sarjana baru (intelektual baru). Andai saja 0,1% dari mereka mampu berkarya tulis, maka cerahlah wajah intelektual bumi ini.
Di awal telah dikemukakan bahwa pendekatan yang kini banyak dipraktekkan di Amerika adalah pendekatan proses. Kita bisa berkaca pada negara maju tersebut karena sudah tinggi budaya menulisnya dan mencermati bagaimana kebiasaan menulis mereka. Bahwa proses menulis jauh lebih berarti ketimbang hasil tulisan. Kaum intelektual yang kurang gemar menulis dilarang memojokkan dirinya dengan menegaskan bahwa ia tidak berbakat dalam  menulis,  bahwa  ia  tidak  memiliki  cukup  referensi  yang  mendukung proses menulisnya. Dua faktor tersebut tidak memiliki tingkat validitas yang tinggi. Kenyataan ini dibuktikan oleh Graves (1983) dalam penelitiannya tentang perkembangan menulis siswa SD.  Sementara itu, penelitian Harste, Wordward dan Burkel (1984) mengindikasikan bahwa anak-anak SD sebenarnya mau dan mampu menulis jauh sebelum mereka masuk sekolah. Hasil penelitian Rudy (1999) juga memperkuat hasil penelitian mereka bahwa anak yang baru mulai masuk SD sudah mampu menulis meskipun ia belum mampu membaca dan hasil tulisannya belum sempurna. Ketiga hasil penelitian menulis di tingkat dasar tersebut selain melumpuhkan dua faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas menulis kaum intelektual tersebut, juga menepis anggapan bahwa siswa tidak akan bisa menulis sebelum dapat membaca.
Selanjutnya, kaum intelektual yang sudah memiliki wawasan iptek yang tinggi, tetapi “miskin” imtaq seyogyanya mau bersahabat dengan ilmu humaniora. Salah satu humaniora yang dapat dijadikan alat pengendali arogansi iptek yang melekat di benak kaum intelektual tersebut yaitu kesusasteraan. Membaca karya sastra  tidak  hanya menghibur, tetapi juga memberikan nilai-nilai moral yang dapat memperhalus budi pekerti dan mendukung terbentuknya watak dan kepribadian yang dilandasi oleh iman dan taqwa (Moody, 1971;Collie & Slater, 1987; Carter & Long, 1991).
Membaca karya sastra tidak melulu identik dengan intelektual bidang bahasa. Bidang sains, teknologi, matematika, pertambangan, energi, masih sangat  relevan  bergelut  dengan  karya  sastra (Alwasilah, 2003). Ia lebih jauh menyoroti sebilangan  kekeliruan (misconception) baik secara konseptual maupun instruksional di kalangan akademisi Indonesia berdasarkan hasil observasinya tentang kekurangmampuan ilmuwan untuk menulis.  Salah satu dari kekeliruan tersebut adalah bacaan atau pengajaran sastra hanya relevan bagi mahasiswa fakultas sastra.  Salah gagas tersebut dapat difalsifikasi dengan sangat terbiasanya pembaca di negara-negara maju membaca dan merespons secara tertulis buku-buku sastra.  Kebiasaan membaca karya sastra terus berlanjut di kalangan dokter, insinyur, pengacara, pebisnis, politisi dan sebagainya di mancanegara dan juga merespons dengan cara menunjukkan “kemaniakan” mereka dalam menulis.  Sebagai contoh, seorang pria bangsa Rusia kelahiran 1963, Michail Khodorkovsky, pendidikan Medeleer Institute of Chemical and Technologies, pendiri bank swasta pertama di Uni Soviet dan memiliki posisi sebagai Wakil Menteri Energi, masih gemar membaca fiksi terutama karya Arthur Clarke (Kompas, 2003).  
            Sepakat dengan salah gagas eksistensi karya sastra yang diungkapkan Alwasilah di atas, Rudy (2010) menemukan bahwa sebanyak 89% responden dari semua fakultas di Universitas Sriwijaya setuju pentingnya mengapresiasi karya sastra di setiap fakultas yaitu untuk mengembangkan karakter mahasiswa.  Selain itu, sebesar 97% responden menanggapi positif kegemaran masyarakat di mancanegara membaca karya sastra. Temuan tersebut memposisikan karya sastra sebagai media yang mampu membangun imtaq kaum intelektual.
Dengan mengaktualisasikan literasi kaum intelektual di luar bidang bahasa, otomatis mereka yang telah menggondol baik wawasan iptek maupun imtaq atau baru mengadopsi wawasan iptek, membaca dan mengaplikasi karya sastra dapat menjadi alternatif jawaban atas tumpulnya kreativitas menulis mereka. Proses penumbuhan literasi tersebut dapat diawali dengan membaca karya sastra. Kemudian karya sastra itu direspons dengan mengaplikasikan tujuh respons pembaca yang terdiri atas strategi menyertakan (perasaan, pikiran, dan imajinasi pembaca dilibatkan ke dalam isi cerita), merinci   cerita  (mengidentifikasi  tokoh,  latar, alur dan unsur intrinsik lainnya), memahami (tindakan tokoh), menginterpretasi (perbuatan tokoh atau penulis cerita), menghubungkan (perasaan, pengalaman, budaya, sosial, agama, buku cerita lain atau film yang pernah ditonton pembaca dengan apa yang dialami tokoh) dan menilai (manfaat yang diperoleh dari   membaca karya sastra tersebut), ketujuh respons pembaca dikemukakan oleh Beach dan Marshall (1990). Butir-butir respons tersebut erat hubungannya dengan operasi dasar proses mental dan proses berpikir induktif. 
Matlin (1994:2) dalam bukunya yang berjudul Cognition mengemukakan bahwa kognisi atau aktivitas mental melibatkan pemerolehan, penyimpanan, pelatihan dan penggunaan pengetahuan (Cognition, or mental activity, involves the acquisition, storage, retrieval, and use of knowledge).  Proses mental tersebut digunakan dalam berpikir, mengingat, merasakan, mengenal, dan mengklasifikasi.  Operasi-operasi dasar yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran sastra adalah mengamati, membandingkan, mengklasifikasi, menghipotesiskan, mengoperasikan, merangkumkan, menerangkan, dan mengritik (Strickland, 1977 dalam Tarigan, 1995:39).
Selanjutnya pembaca berpeluang untuk membuat perbandingan baik dari segi persamaan maupun perbedaan karena banyak hal yang dapat diamati melalui kegiatan membaca.  Mereka juga harus mampu mengklasifikasikan ide-ide sebelum mereka dapat melihat serta memahami hubungan-hubungan yang ada di antara semua itu.  Membuat hipotesis mengenai tokoh dan alur cerita sangat  berguna  bagi  perkembangan keterampilan bernalar mereka.  Kegiatan yang cukup sulit bagi pembaca adalah memahami konsep waktu, urutan waktu, dan kapan peristiwa dalam cerita terjadinya. Sementara itu, kegiatan merangkum dapat dikembangkan dalam setiap jenis sastra.  Rangkuman dapat dikerjakan setelah pembaca membaca karya sastra, begitu juga dengan kegiatan menerapkan.  Dalam kegiatan ini, pembaca perlu memperoleh banyak kesempatan untuk menerapkan keterampilan, konsep, informasi atau gagasan-gagasan dari bacaan sastra.  Kegiatan mengritik memberi peluang kepada pembaca untuk tidak menerima begitu saja informasi atau gagasan yang tertuang di dalamnya.  Mereka dapat menilai atau mengevaluasi secara kritis apa yang mereka baca.

SIMPULAN


Proses globalisasi mengindikasikan adanya keharusan membuka diri akan perkembangan iptek, kesempatan, dialog, dan pilihan-pilihan baru pada skala global bagi seluruh komponen bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia umumnya, kaum intelektual khususnya,  dituntut untuk tidak hanya berwawasan iptek tetapi juga imtaq dalam bertindak-tutur dan mengomunikasikan pemikiran, gagasan dan ide-ide cemerlangnya melalui wacana literasi baik lisan maupun tulisan. Penuangan gagasan dilakukan dengan cara reproduksi pengetahuan dengan memperhatikan teknik olah-ulang iptek yang sesuai dan tidak menyalahi aturan-aturan baku yang telah disepakati.
Kaum intelektual yang berwawasan iptek dan imtaq sangat diperlukan dalam membangun dan mempersatukan bangsa Indonesia. Dengan wawasan iptek saja, kaum intelektual memang mampu mengaktualisasikan diri, menguasai berbagai aspek kehidupan dunia tanpa batas. Iptek dibutuhkan untuk mempertahankan hidup. Meskipun demikian, wawasan imtaq sangat dibutuhkan untuk mengendalikan gejolak-gejolak duniawi akibat penguasaan iptek yang melekat dalam diri dengan memancarkan arogansi kekuasaan. Humaniora dan agama seyogyanya dipadukan untuk membentuk sumber daya manusia yang berwawasan iptek, bernurani keindonesiaan, dan berwatak akhlakul karimah.




DAFTAR RUJUKAN


Alwasilah, A. Chaedar. 1993. “Memadukan Iptek dan Imtaq.” Suara Karya. 3 September 1993.
Alwasilah, A. Chaedar. 1998.  “Intellectuals Lack Writing Skills. “The Jakarta Post, January 3.
Alwasilah, A. Chaedar. 1999. “Respons Penulis terhadap Pembaca: Studi Kasus Tulisan Mahasiswa Pascasarjana IKIP Bandung.” Makalah. Dipresentasikan pada PELBBA VIII, Unika Atmajaya, Jakarta 26-27 Juli 1999.
Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Perspekti Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: CV Andira.
Alwasilah, A. Chaedar. 2003.  “Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang Menulis.”  Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada FPBS UPI.  Depdiknas UPI.
Alwasilah, A. Chaedar. 2005. “Membangun Mesin Reproduksi Pengetahuan.” Pikiran Rakyat, 12 Januari 2005.
Beach, R.W. & J.D. Marshall. 1991.  Teaching Literature in the Secondary School.  New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Carter, R. dan M.N. Long. 1991.  Teaching Literature.  New York: Longman, Inc.
Darma, Surya. 1997. “Global Comparative  dan Tantangan Perguruan Tinggi Kita.” Republika. 1997.
Graves, Donald H. 1983. “The growth and development of first-grade writers.” Dalam Freedman, Aviva et al., Learning to Write: First Language/Second Language. London: Longman Group, Ltd.
Hadi Parna. 2000. Dikutip dalam Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Perspekti Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: CV Andira.
Harste, Jerome C., Virginia A. Woodward, and Burke Carolyn L. 1984.  Language Stories & Literary Lessons.  Prtsmouth, N.H.: Heinemann Educational Books.










Kompas, Jakarta : 4 November 2003.
Moody, H.L.B. 1971.  The Teaching of Literature.  London: Longman Group, Ltd.
Rudy, Rita I. 1999. Facilitating Children to Write. Makalah. Pascasarjana IKIP Bandung.
Rudy, Rita I. 2005.  Model Respons Nonverbal dan Verbal dalam Pembelajaran Sastra untuk Mengembangkan Keterampilan Menulis Siswa SD : Studi Kuasi-Eksperimen di SD Negeri ASMI I, III, V Kota Bandung Tahun Ajaran 2003/ 2004.  Disertasi.  Bandung: Program Pascasarjana UPI.
Rudy, Rita I. 2005.  Keefektifan Model Respons Pembaca dan Simbol Visual dalam Pembelajaran Sastra di SD. Makalah.  Disajikan dalam Konferensi Internasional HISKI di Palembang, 18 – 21 Agustus 2005.
Rudy, Rita I. 2006.  The Enlightenment of Literature Instruction at Language Education Program.  Makalah.  Dipresentasikan pada Stadium Generale Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Sriwijaya, 6 Februari 2006.
Rudy, Rita I. 2010. Konsep Literature for All  dan Literature across Curriculum dalam Mengapresiasi Karya Sastra bagi Mahasiswa Calon Guru di FKIP Universitas Sriwijaya untuk Mengembangkan Karakter Siswa. Laporan Penelitian Hibah Kompetensi DP2M Dikti.
Tarigan, Henri G. 1995.  Dasar-dasar Psikosastra.  Bandung : Penerbit Angkasa.
Thornley, G.C. dan G. Robert, 1984.  An Outline of English Literature (New Edition) London: Longman Group, Ltd.














CURRICULUM VITAE


Rita Inderawati Rudy, lahir di Menado, 26 April 1967, Dosen Bahasa Inggris FKIP Unsri Palembang.  Menyelesaikan S1 Bahasa Inggris di FKIP Unsri Palembang tahun 1990, S2 Bahasa Inggris PPs UPI tahun 2001 (tesis tentang Literature Instruction in College) dan S3 Bahasa Indonesia PPs UPI 2005 (Disertasi tentang Model Pembelajaran Sastra di SD). Putra daerah Sumatera selatan ini  aktif dalam berbagai seminar nasional dan internasional, organisasi mahasiswa dan masyarakat.
Karirnya diawali dengan menjadi Humas Universitas Muhammadiyah Palembang dan guru Bahasa Inggris di SMU Arinda Palembang semasa berkuliah di S1.  Setelah lulus pada jenjang itu, ia konsentrasi mengajar di tingkat Perguruan Tinggi yaitu FKIP Unsri, mengajar mata kuliah Reading I dan berbagai fakultas di Unsri dengan mata kuliah Bahasa Inggris (MKDU).  Ia juga mengajar di STKIP PGRI (kini Universitas PGRI) dan pernah mengajar di Fakultas Hukum Universitas Palembang.  Selama menimba ilmu di Bandung, ia pernah menjadi instruktur managemen pendidikan dasar bagi kepala dinas pendidikan seluruh Indonesia selama dua angkatan di ITB dan menjadi instruktur Bahasa Inggris bagi pegawai diklat selama tiga bulan di Diklat Daerah Jawa Barat.
Berikut ini adalah pengalamannya berorganisasi selama tujuh tahun di Kota Kembang Bandung :
1.      Sekretaris Forum Komunikasi Mahasiswa dan Alumni (FKMA) PPs UPI periode 2000-2001.
2.      Ketua I Forum Komunikasi Mahasiswa (FKM) PPs UPI periode 2001-2003.
3.      Sekretaris Dewan Sekolah SD Negeri ASMI Bandung periode 2002-2003.
4.      Sekretaris PPS PEMILU 2004 Kelurahan Karasak Bandung
5.      Ketua Umum Seminar Nasional Sastra di UPI Bandung tahun 2003.
Ia menjadi pemakalah sesi paralel pada seminar-seminar baik yang bertaraf nasional maupun internasional di antaranya :
1.      Responding through Visual Symbols : How Literature Instruction Survives in the Great Big World of Tests.  Dipresentasikan di Konferensi Nasional III, Testing and Evaluation in the Context of Undergraduate ELT in Indonesia, di ITB Bandung, 22-24 Februari 2000.
2.      Menata Perguruan Tinggi.  Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Revisi UU Sisdiknas dalam Memaknai Profesionalisme Jabatan Kependidikan di UPI pada tanggal 26 April 2001.
3.      Paham Budaya dan Mahir Berbahasa Indonesia bagi Penutur Asing Tingkat lanjut. 4th International Conference on the Teaching Indonesian to Speakers of Other Languages.  Dipresentasikan di Sanur Bali dalam KIP-BIPA IV dan diterbitkan dalam Prosiding Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing IV.  Indonesian Australia Language Foundation (IALF), 1-3 Oktober 2001.

4.      Pengembangan Kualitas Pembelajaran Sastra sebagai Seni Bahasa dalam menggali Nilai-nilai Budaya di Perguruan Tinggi.  Dipresentasikan dalam Forum Sastra dan Budaya II di UPI Bandung, 24-26 Oktober 2002.
5.      Keefektifan Model Respons Pembaca dan Simbol Visual dalam Pembelajaran Sastra di SD.  Disajikan dalam Konferensi Internasional Kesastraan XVI HISKI 18-21 Agustus 2005, di Swarna Dwipa Palembang.
6.      The Enlightenment of Literature Instruction at Language Education Program. 2006. Makalah yang disajikan pada Stadium Generale JPBS FKIP Unsri
Karya ilmiah dan artikel yang pernah ditulis, didokumentasikan dan diterbitkan selama menimba ilmu di PPs UPI adalah sebagai berikut ;
1.      Facilitating Children to Write.  Penelitian PPs UPI Bandung tahun 1999.
2.      Immature Phonological System : A Case Study on a Child in Acquiring His First Language.  Penelitian PPs UPI tahun 1999.
3.      Pemimpin Era Milenium Baru Rawan Gizi.  Diterbitkan di HU Pikiran Rakyat Bandung tahun 1999.
4.      Pelecehan pada Pendidikan Tinggi.  Diterbitkan di HU Galamedia Bandung tahun 2000.
5.      Literature Instruction in EFL Classrooms : An Ethnographic Study of Promoting Students Literary Appreciation and Language Skills at the English Department of UPI Bandung.  Tesis.  Bandung : PPs UPI tahun 2001.
6.      Kolaborasi antara Respons Verbal dan Nonverbal dalam Pengajaran Sastra untuk Mengembangkan Kompetensi Berbicara dan Menulis. “Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra di UPI dan diterbitkan Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Vol. 3 No. 4 April 2003. FPBS UPI Bandung.
7.      ‘Rabun Sastra’: Tanggung Jawab FPBS-kah ? Diterbitkan dalam Prosiding Seminar Nasional Pemacu Prestasi dan Prestise Alumni FPBS UPI dan Program Studi Pengajaran  Bahasa Indonesia PPs UPI.  Bandung : Penerbit Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI.

Keikutsertaannya dalam organisasi mahasiswa sudah dilakoninya sejak menuntut ilmu di FKIP Unsri Palembang.  Ia berperan aktif dalam organisasi masyarakat ketika meneruskan studinya di Bandung selama tujuh tahun.
Setelah menyelesaikan studi S3 di UPI Bandung 2005, ia telah menulis kurang lebih 35 makalah konseptual dan berbasis riset yang telah dipresentasikan di seminar dan konferensi nasional dan internasional. Ia tercatat telah tiga kali presentasi di luar negeri: Hong kong University (2007), Universiti Sain Malaysia (2010), dan Thammasat University Bangkok (2011). Penelitian dari Dikti telah lima kali diperolehnya sejak 2006 hingga 2010 (hibah PHK A2, Hibah bersaing tahun I, hibah bersaing tahun II, Hibah Potensi Pendidikan, dan Hibah Kompetensi). Berkat keuletannya melakukan penelitian, ia dinobatkan oleh Universitas Sriwijaya sebagai Peneliti Terbaik bidang Pendidikan tahun 2010 dan terpilih sebagai dosen berprestasi Universitas Sriwijaya. Sementara itu, beberapa buku telah dihasilkan meskipun baru sebatas buku bunga rampai. Tahun 2011 ini, ia sedang menyiapkan  3 buku hasil penelitiannya.



******

Paper presented in Bulan Bahasa Oktobe 2010 at UNJ

Mengangkat Peran Sastra Lokal dengan Konsep Sastra untuk Semua
bagi Pembentukan Karakter Bangsa

Rita Inderawati Rudy
JPBS FKIP Universitas Sriwijaya

ABSTRAK

Abad ke-21 menantang kita untuk lebih meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Lonjakan gejolak yang mewarnai persada ini tidak pernah surut memojokkan bangsa Indonesia. Berbagai kemelut yang melanda bangsa diharapkan mampu diatasi lewat jalur pendidikan. Pendidikan menjadi fenomena yang muncul sebagai sebuah kekuatan utama yang mampu mempengaruhi kualitas manusia. Dewasa ini, sering terjadi peristiwa yang kurang terpuji di kalangan pelajar. Siswa sekolah menengah melakukan tawuran dan perkelahian, sedangkan mahasiswa selain melakukan aksi perkelahian dan tawuran, mereka juga menunjukkan sifat anarkhis dan destruktif.
Ilustrasi di atas membuka lebar mata dan cakrawala berpikir SDM Indonesia yang kesehariannya bergelut dengan bahasa untuk berpartisipasi dalam membangun karakter bangsa. Landasan pembangunan nasional selayaknya tidak hanya bertumpu pada sains dan teknologi tetapi juga harus berlandaskan humaniora. Salah satu cabang ilmu sosial yang dapat menjadi alternatif merajut tatanan kenegaraan dan menjadi alat pengendali arogansi iptek adalah sastra. Membaca karya sastra  tidak  hanya menghibur, tetapi juga memberikan nilai-nilai moral yang dapat memperhalus budi pekerti dan mendukung terbentuknya watak dan kepribadian yang dilandasi oleh iman dan taqwa (Rudy, 2009).
Aspek kecerdasan, kebajikan, moral, dan kebijaksanaan dapat ditingkatkan melalui sastra. Kecerdasan emosional dapat diberdayakan dengan mengaktifkan penafsiran terhadap karya sastra secara bebas, liar, dan meronta-ronta dengan mengaplikasikan strategi respons pembaca, bukan gaya (genre) sastra, siapa tokoh cerita atau siapa pengarangnya yang menjadi motor pencerdas tersebut. Dengan kata lain, sastra mampu menjadi motor penggerak yang efektif untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut.

Makalah ini bertujuan untuk mengenalkan pembelajaran sastra yang berbasis respons pembaca sebagai mata kuliah tambahan atau muatan lokal (local content) atau terintegrasi ke dalam mata kuliah kepribadian di perguruan tinggi  dan mengangkat sastra lokal  dengan konsep Sastra untuk Semua sebagai media bagi mahasiswa untuk mengidentifikasi dan  mempertahankan budaya lokal, serta memperoleh manfaatnya dalam memperhalus budi pekerti, membentuk karakter dan mengembangkan kepribadian.

Kata-kata Kunci: Sastra untuk Semua, sastra lokal, respons pembaca, karakter bangsa, 





1)       Dipaparkan dalam Seminar Nasional Bulan Bahasa 2010 di Universitas Negeri Jakarta pada tanggal 30 Oktober 2010
2)       Dosen JPBS Universitas Sriwijaya Palembang
Pendahuluan

Abad ke-21 menantang kita untuk lebih meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Lonjakan gejolak yang mewarnai persada ini tidak pernah surut memojokkan bangsa Indonesia. Berbagai kemelut yang melanda bangsa diharapkan mampu diatasi lewat jalur pendidikan. Pendidikan menjadi fenomena yang muncul sebagai sebuah kekuatan utama yang mampu mempengaruhi kualitas manusia. Dewasa ini, sering terjadi peristiwa yang kurang terpuji di kalangan pelajar. Siswa sekolah menengah melakukan tawuran dan perkelahian, sedangkan mahasiswa selain melakukan aksi perkelahian dan tawuran, mereka juga menunjukkan sifat anarkhis dan destruktif.
Ilustrasi di atas membuka lebar mata dan cakrawala berpikir SDM Indonesia yang kesehariannya bergelut dengan bahasa untuk turut mengambil bagian dalam membangun karakter bangsa. Landasan pembangunan nasional selayaknya tidak hanya bertumpu pada sains dan teknologi tetapi juga harus berlandaskan humaniora. Salah satu cabang ilmu sosial yang dapat menjadi alternatif merajut tatanan kenegaraan dan menjadi alat pengendali arogansi iptek adalah sastra. Membaca karya sastra  tidak  hanya menghibur, tetapi juga memberikan nilai-nilai moral yang dapat memperhalus budi pekerti dan mendukung terbentuknya watak dan kepribadian yang dilandasi oleh iman dan taqwa (Rudy, 2009). Sejalan dengan kenyataan ini, Husniah dan Arifani (2010) mengemukakan hal berikut.
Saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan pendidikan Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis, kurang toleran dalam menghadapi perbedaan, dan korup. Selain pengajaran agama, salah satu pelajaran yang mengajarkan budi pekerti ialah sastra. Membaca sastra berarti mengenal berbagai karakter yang sebagian besar merupakan refleksi dari realitas kehidupan. Dengan demikian, pembaca akan memahami motif yang dilakukan setiap karakter baik yang protagonis maupun yang antagonis sehingga pembaca dapat memahami alasan pelaku dalam setiap perbuatannya.

"Sastra juga mengajarkan karakter tanpa harus menggurui lewat cerita-cerita yang membangun karakter bangsa. Masyarakat saat ini membutuhkan `role model` yang kuat," dinyatakan oleh Yudi Latif, saat peluncuran bukunya Menyemai Karakter Bangsa. Pernyataan ini mengiringi gugatan para pakar tentang peranan pendidikan yang mengabaikan sastra dalam membangun karakter bangsa; bahwa posisi dan porsi sastra sangat kecil di bidang pendidikan bahasa. Keprihatinannya terhadap pudarnya karakter bangsa dapat dipengaruhi oleh dua bahasa yang mendominasi persada Indonesia ini, yaitu bahasa politik yang berorientasi siapa pemenang (winner-oriented) dan bahasa ekonomi yang berorientasi keuntungan (benefit-oriented), namun kapan bahasa sastra dengan fokus etika akan dibahas? seperti yang dikritik oleh Rushord Kidder (pakar etika). Suatu negara bisa saja kehilangan politikus atau ekonom maka akan digantikan oleh negarawan lainnya, namun bila negara sudah kehilangan karakter berbangsa maka punahlah bangsa itu. Negarawan ataupun penyelenggara kehidupan bernegara dan berbangsa harus menjadi teladan bagi masyarakat, mereka harus menjadi panutan. Lebih jauh ia menegaskan tiga dimensi yang mempengaruhi pembentukan karakter bangsa: kesadaran  perbedaan sebagai suatu bangsa, ketegaran, dan moral bangsa.  
Sejak tahun 1971, pakar sastra barat L.B. Moody sudah menggambarkan sastra dalam posisi yang sangat memprihatinkan. Padahal dengan porsi yang sedemikian kecilnya, para pakar sastra secara teoretis telah mengemukakan pentingnya sastra diajarkan. Sastra membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa serta penunjang pembentukan watak (Moody,1971; Carter dan Long,1991; dan Tarigan, 1995).
Pentingnya kehadiran sastra dalam pembelajaran dijelaskan oleh   Rosenblatt  dalam Rudy (2005:81) sebagai berikut: 1) sastra mendorong kebutuhan atas imajinasi dalam demokrasi, 2) sastra mengalihkan imajinasi dan perilaku, sikap emosi, dan ukuran nilai sosial serta pribadi, 3) sastra menyajikan kemungkinan perbedaan pandangan hidup, pola hubungan, dan filsafat, 4) sastra membantu pemilihan imajinasi yang berbeda melalui pengalaman mengkaji karya sastra, 5) pengalaman sastra memungkinkan pembaca memandang kepribadiannya sendiri dan masalah-masalahnya secara objektif dan memecahkannya dengan lebih baik, dan 6) sastra memberikan kenyataan kepada orang dewasa sistem nilai yang berbeda sehingga mereka terbebas dari rasa takut, bersalah dan tidak pasti.
Sepakat dengan rincian Rosenblatt di atas, aspek kecerdasan, kebajikan, moral, dan kebijaksanaan dapat ditingkatkan melalui sastra. Kecerdasan emosional peserta didik dapat diberdayakan dengan mengaktifkan penafsiran terhadap karya sastra secara bebas, liar, dan meronta-ronta, bukan gaya (genre) sastra, siapa tokoh cerita atau siapa pengarangnya yang menjadi motor pencerdas tersebut. Dengan kata lain, sastra mampu menjadi motor penggerak yang efektif untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut.
Manfaat pembelajaran sastra sudah sangat banyak dikemukakan para ahli sastra. Ironisnya, teori-teori yang membahas manfaat sastra belum menyentuh tataran praktis. Untuk mencapai tataran praktis, teori-teori tersebut harus dieksplorasi dan dianalisis ke arah terciptanya pembelajaran sastra yang estetik, pembelajaran yang mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pembelajaran sastra yang dapat mengembangkan ketiga aspek penting tersebut telah diteliti dan dikembangkan. Rudy (2001) menemukan bahwa apresiasi sastra dengan mengaplikasikan strategi respons pembaca dapat meningkatkan kemampuan apresiasi sastra mahasiswa. Pada tahun 2005, Rudy meneliti bahwa kemampuan menulis siswa SD dapat meningkat dengan mengapresiasi karya sastra yang menggunakan respons pembaca dan simbol visual. Penelitian-penelitian selanjutnya merupakan penelitian pengembangan yang penulis lakukan agar pembelajaran sastra dengan kolaborasi respons pembaca dan respons simbol visual berkontribusi positif terhadap apresiasi sastra dengan memanfaatkan sastra lokal untuk turut melestarikan budaya lokal Indonesia. Talib (2010) turut memberikan penekanan mengenai hal itu sebagai berikut.
Dengan melihat pentingnya peranan bahasa dan sastra lokal dalam masyarakat, maka perlu dilakukan pelestarian sedini mungkin. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah dengan mengaktifkan kembali kegiatan pewarisan budaya lokal atau leluhur yang mempunyai makna luhur baik melalui jalur keluarga, terutama jalur pendidikan.

Jejak penelitian yang mengangkat respons pembaca dan respons simbol visual sebagai paradigma baru apresiasi sastra yang mementingkan peran pembaca ketika bergaul dengan karya sastra diikuti oleh peneliti-peneliti lainnya sebagai bukti bahwa kolaborasi kedua respons efektif meningkatkan kemampuan mengapresiasi karya sastra yang tidak hanya mencerdaskan kognisi  tetapi juga afeksi peserta didik. Selain itu, hasil penelitian tersebut diaplikasikan dalam pembelajaran di berbagai jenjang pendidikan setidaknya oleh para peneliti lanjutan dan mahasiswa yang telah menjadi subjek penelitian. Dengan demikian, kolaborasi respons hasil penelitian  menjadi obat mujarab yang ampuh (panasea) bagi pembentukan karakter peserta didik karena unsur-unsur pembangun karya sastra bukan hanya diidentifikasi tetapi dieksplorasi tanpa takut terbelenggu dalam kata-kata.
Paparan di atas memberikan gambaran singkat mengenai pentingnya pembelajaran sastra diajarkan di seluruh jenjang pendidikan. Makalah ini lebih jauh membahas tentang peta penelitian (roadmap) mengapresiasi karya sastra dan pembelajaran apresiasi sastra sebagai mata kuliah tambahan atau muatan lokal (local content) atau terintegrasi ke dalam mata kuliah kepribadian dengan konsep literature for all di jurusan atau program studi non bahasa di fakultas keguruan agar mahasiswa dapat memperhalus budi pekerti dan mengembangkan watak dan kepribadian yang baik selama menekuni perkuliahan. Pada akhirnya, pembelajaran apresiasi sastra dapat diperkenalkan dan diimplementasikan pada fakultas-fakultas non kependidikan dengan mengeksplorasi karya sastra lokal atau karya sastra dengan genre novel atau karya sastra yang berlatar-belakang bidang keilmuan mahasiswa masing-masing dan mengapresiasinya dengan mengaplikasikan kolaborasi respons pembaca dan respons simbol visual.

Konsep Literature for All Sebagai Mulok dalam Membentuk Karakter Bangsa
Gagasan konsep Literature for All dalam mengapresiasi karya sastra secara spontan penting penulis kemukakan setelah mendapatkan informasi baik secara lisan maupun tulisan bahwa masyarakat di mancanegara apapun kedudukannya dalam kehidupan bermasyarakat masih tetap membaca karya sastra untuk menumbuhkan sikap dan kepribadian yang berkarakter karena membaca karya sastra telah mereka peroleh sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Megawangi (2004) menyebutkan 9 pilar karakter yang mengandung nilai-nilai luhur universal yaitu: 1) cinta tuhan dan alam semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, 3) kejujuran, 4) hormat dan sopan santun, 5) kasih saying, kepedulian, dan kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Nilai-nilai inilah yang harus dikembangkan dalam diri peserta didik melalui apresiasi karya sastra. Mereka akan memotret tokoh cerita dan penokohannya untuk mengeksplorasi kemungkinan ditemukannya ke sembilan pilar karakter bangsa yang tersembunyi di balik tindakan dan perilaku tokoh cerita.
Dalam pengamatan penulis, selama ini apresiasi karya sastra hanya diberikan kepada siswa di seluruh jenjang pendidikan dan mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra dengan pendekatan struktural. Gejolak dan berbagai fenomena yang terjadi di kalangan pelajar menyudutkan dunia pendidikan yang gagal menghantarkan peserta didik menjadi manusia yang berkarakter. Saat ini percarian terhadap model pembelajaran yang mampu mengembangkan kepribadian dan menajamkan afeksi siswa sedang digalakkan. Seluruh elemen bangsa berupaya di bidangnya masing-masing menemukan cara yang efektif menghasilkan SDM yang bermental dan bermoral baik.
Penggalakan bentuk pembelajaran yang berkarakter memotivasi penulis untuk menggagas konsep sastra untuk semua. Gagasan konsep ini terinspirasi dari istilah education for all yang telah dikumandangkan dalam satu dasawarsa oleh Kementrian Pendidikan Nasional, diikuti dengan science for all yang digaungkan oleh Kementrian Riset dan Teknologi tiga tahun terakhir. Secara spesifik, konsep literature for all belum pernah dikedepankan dalam rangka mengembangkan pendidikan yang berkarakter. Dalam skala mikro, sastra untuk semua dalam makalah ini menngindikasikan bahwa sastra bukan hanya milik mahasiswa jurusan bahasa, tetapi juga mahasiswa non-bahasa. Meskipun demikian, banyak juga kalangan yang menginginkan pendidikan yang berkarakter melalui pembelajaran sastra. Di antaranya, forumpurworejo.blogspot.com (2010) mengungkapkan:
Kerinduan generasi muda akan karya sastra, memang tidak mengglobal, akan tetapi justeru hal inilah kelemahan dunia sastra kita. Ia semakin dijauhi saja. Padahal karya sastra dapat membentuk karakter generasi bangsa kita. Adalah besar harapan pembentukan karakter generasi bangsa, karakter masyarakat khususnya di Purworejo dapat terjembatani melalui Dewan Kesenian Purworejo, sehingga dapatlah terkondisikan pementasan karya seni semisal karya sastra dan ekspresi seni yang lain, seperti seni teater, seni pedalangan, seni tari, seni karawitan. sampai seni-seni tradisional yang khas di Purworejo dapat tetap eksis dan terbina.

Kutipan di atas diperkuat juga oleh pendapat Kotller (1990) bahwa majunya suatu bangsa ditentukan oleh nilai dan karakter yang menjadi modal kehidupan sosial dan berbangsa dimana kualitas dan perilaku masyarakat sebagai faktor budaya yang menjadi modal sosial (social capital)  merupakan kunci sukses keberhasilan sebuah negara yang ditentukan oleh sejauh mana negara tersebut mempunyai budaya yang kondusif  untuk maju. Sementara itu, kalangan sastrawan yang diwakili oleh Putu Wijaya pun berharap pembelajaran sastra harus dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa (Wijaya, 2007). Berbagai pendapat tersebut pada akhirnya memfasilitasi penulis untuk memberdayakan pembelajaran sastra berbasis respons pembaca dan simbol visual yang sudah teruji melalui beberapa penelitian yang telah penulis lakukan dalam kurun waktu 12 tahun ini untuk mengembangkan karakter bangsa sehingga sembilan pilar karakter bangsa dapat terwujud.
Masalah pokok yang muncul ketika gagasan akan diimplementasikan ke dalam pembelajaran adalah posisi yang tepat dari mata kuliah tersebut di dalam kurikulum dan tenaga pengajarnya. Di awal telah dipaparkan bahwa gagasan sastra untuk semua dapat menjadi muatan lokal atau terintegrasi dalam rumpun mata kuliah kepribadian. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikutip dari Bataviase.co.id berikut.
Dalam setiap perkembangan sastra ada rantai kerja sama simbiosis mutualisme yang harus terbangun antara Pemerintah, media massa, LSM, komunitas-komunitas seni dan sastra serta masyarakat. Di sinilah peranan setiap komponen untuk saling menjaga dan mendukung, melestarikan sastra dan kebudayaan Indonesia. Negara yang kaya akan kebudayaan dan suku. Kaya berbagai sudut pandang tapi satu tujuan. Pastinya kita sebagai arek Indonesia tidak ingin kecolongan. Upaya untuk mengenalkan kebudayaan kepada generasi penerus harus terus dilakukan. Mengembalikan muatan lokal. Namun, sebagian daerah di Indonesia menghapus muatan lokal dari kurikulum.
Ironisnya, muatan lokal di beberapa sekolah dihapuskan. Peniadaan muatan lokal dari kurikulum beberapa daerah disinyalir karena kekurangpahaman pendidik dan jajarannya terhadap esensi muatan lokal. Oleh karena itu, diharapkan makalah ini dapat memberi manfaat di bidang pendidikan dengan memasukkan pembelajaran apresiasi sastra ke dalam muatan lokal di perguruan tinggi fakultas pendidikan sebagai bekal bagi mahasiswa calon pendidik di seluruh jenjang pendidikan turut membantu membentuk karakter bangsa (peserta didiknya).
Apresiasi Sastra di Perguruan Tinggi

                Gagasan konsep literature for all dalam makalah ini dibatasi untuk mahasiswa keguruan non-kebahasaan. Pembelajaran apresiasi sastra yang dimaksud tidak akan dilakukan secara klasikal melainkan secara praktis dengan memberikan seperangkat pertanyaan pemandu yang telah disusun berdasarkan teori respons pembaca dan simbol visual. Karya sastra yang digunakan mahasiswa diutamakan sastra lokal seperti legenda dan cerita rakyat agar mahasiswa mengenal sastra daerahnya sendiri. Sebagai tambahan, novel atau cerita pendek modern dengan latar cerita sesuai dengan bidang ilmu mahasiswa sangat tepat dibaca dan diapresiasi. Sementara itu, mahasiswa tidak perlu lagi diberi perlakuan model pembelajaran; mahasiswa dapat dengan segera mengapresiasi karya sastra dengan panduan pertanyaan tersebut.  Beach dan Marshall (1991:28) mengedepankan strategi respons pembaca terdiri atas tujuh strategi yaitu:  menyertakan, merinci, menjelaskan, memahami, menafsirkan, menghubungkan, dan menilai. Berikut ini penjelasan dan panduan merespons karya sastra.
1.      Menyertakan (engaging): Pembaca selalu berusaha mengikutsertakan perasaannya terhadap karya sastra yang dibacanya. Pembaca meleburkan diri ke dalam teks, membayangkan apa yang terjadi dan merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh cerita.
Purves, dkk. (1990) menambahkan definisi di atas bahwa ketika membaca karya sastra pembaca tidak hanya menyertakan perasaan tetapi menyertakan pikiran dan imajinasi juga sebagaimana yang dikutip dari pernyataan mereka “Literature and the arts exist in the curriculum as a means for students to learn to express their emotions, their thought, and their imaginations.”
 Menurut Kimtafsirah (2003:6) pembaca yang sedang “engaged” dengan teks, meleburkan diri dengan teks dalam istilah Rosenblatt sedang menerapkan aesthetic reading. Dalam aesthetic reading, pembaca seolah-olah masuk ke dalam teks dan hidup di sana agar dapat memahami tingkah laku para tokoh cerita. Dengan demikian, pembaca dapat merespons secara emosional dengan mudah sehingga pemahaman tercapai.
2. Merinci (describing): Pembaca merinci atau menjelaskan kembali informasi yang tertera di dalam teks. 
Pembaca merinci tokoh-tokoh cerita, penokohan, latar cerita, dan alur cerita. Artinya, pembaca menceritakan kembali cerita yang telah dibacanya dan merinci peristiwa-peristiwa yang dianggap penting untuk dipahami.  Ketika membaca sebuah teks sastra, akan ditemukan hal-hal yang berbeda dalam teks yang sama. Mahasiswa menceritakan bagian-bagian yang menarik perhatian mereka, setidaknya dalam tiga kalimat. Sebelumnya, mereka dapat merinci semua unsur pembangun karya sastra secara struktural seperti: tokoh dan penokohannya, latar, dan alur cerita.
            Penerapan respons ini dapat memfasilitasi peserta didik dalam mencapai kejujuran, kasih sayang, dan kepedulian. Setelah membaca Malin Kundang, pertanyaan pertama diajukan kepada mereka. Malin Kundang sebagai tokoh yang durhaka dalam cerita itu menuai kritik yang tajam dari hasil apresiasi. Peserta didik tidak akan menyukai tindakan dan perilaku sang tokoh. Mereka belajar jujur, kasih sayang, dan peduli setelah mengapresiasi dan mengeksplorasi cerita tersebut.
3. Memahami (conceiving): Pembaca memahami tokoh, latar cerita, dan bahasa yang digunakan dalam sebuah cerita dan memaknainya.                           
Dalam kegiatan ini, mahasiswa memahami para tokoh cerita dengan menerapkan pengetahuan mereka tentang tingkah laku sosial dalam masyarakat dan latar belakang budaya. Pemahaman terhadap tokoh cerita tersebut didukung pula oleh pendapat Kimtafsirah (2003:7) bahwa pengetahuan tentang teks tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman social behaviour dan cultural background yang direfleksikan dari teks. Sebagai contoh, ketika mahasiswa membaca cerita dengan adat istiadat dan latar budaya yang berbeda dengan mereka maka mereka dapat memahami tingkah laku tokoh cerita tersebut bukan berasal dari budaya mereka.
4. Menerangkan (explaining): Mahasiswa mencoba menjelaskan sebaik-mungkin mengapa tokoh cerita melakukan suatu tindakan.                                                   
5. Menghubungkan (connecting): Mahasiswa menghubungkan pengalaman mereka dengan apa yang terjadi pada tokoh cerita.
            Kegiatan lain dalam strategi ini adalah menghubungkan cerita dengan cerita lain atau film pernah dibaca atau ditonton. Kimtafsirah (2003:8) mengilustrasikan seperti contoh berikut: setelah membaca karya Charles Dicken Oliver Twist, mahasiswa dapat membandingkannya dengan film Ari Hanggara. Begitu juga dengan Oemarjati (2005) yang menyarankan guru “menanyakan kepada para siswa, apakah ada yang pernah membaca kisah yang serupa, atau menonton film atau sinetron dengan persoalan dasar serupa dengan karya sastra yang sedang  dibahas yaitu Siti Nurbaya.
            Berdasarkan kegiatan-kegiatan dalam connecting tersebut, Penzenstadler (1999) mengingatkan bahwa  dengan segala sesuatu yang digunakan sebagai media pembelajaran, guru dapat menolong siswa menghubungkan apa yang mereka baca dengan dunia mereka (http://www.ade.org/ade/bulletin/n123/123036.htm).
6. Menafsirkan (interpreting): Siswa menggunakan reaksi, konsepsi, dan koneksi yang mereka bentuk untuk mengartikulasikan tema.
            Kegiatan interpreting melibatkan penentuan makna-makna simbolik, tema, atau peristiwa spesifik dari suatu teks. Dalam membuat penafsiran, biasanya yang didiskusikan adalah apa yang teks “ungkapkan.” Interpretasi melibatkan generalisasi, pernyataan yang dibuat bukan pernyataan yang ada di dalam teks melainkan terimplisit di dalam teks.
7. Menilai (judging): Mahasiswa memberikan pendapatnya tentang teks cerita, penulis cerita atau alur cerita.
Ke tujuh respons pembaca tersebut mengandung unsur-unsur yang dapat menajamkan kognisi (merinci, menerangkan, memahami, dan menafsirkan) dan afeksi (menyertakan, menghubungkan, dan menilai).
                Untuk lebih mengarah pada pembentukan karakter mahasiswa, teori respons pembaca ini dikolaborasikan dengan respons simbol visual, teori psikosastra, dan pilar karakter bangsa. Respons simbol visual terdiri atas dimensi grafik: sosiogram, peta cerita, grafik, diagram, dan kartun; dimensi ilustrasi: poster, gambar, foto, kolasi;dimensi film/video: naskah cerita, animasi, efek khusus, dan film; dan dimensi seni pertunjukan: tablo, menari, pantomim, dan musik dikemukakan oleh Purves, dkk. (1990).  Sementara itu, teori psikosastra berupa operasi dasar terdiri atas yang dikemukakan oleh Strickland (1977) dalam Tarigan (1995:39) terdiri atas mengamati, membandingkan, mengklasifikasikan, menghipotesis, mengorganisasikan, merangkum,  menerapkan, dan mengritik. Sedangkan pilar karakter bangsa yang dikutip dari Megawangi (2004) terdiri atas:  1) kejujuran, 2) hormat dan sopan santun, 3) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, 4) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, 5) keadilan dan kepemimpinan, 6) baik dan rendah hati, 7) cinta tuhan dan alam semesta beserta isinya, 8) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian,  dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan.
            Untuk memandu kegiatan apresiasi, pertanyaan-pertanyaan dibuat oleh Rudy (2008) dari teori respons pembaca yang menajamkan ranah kognitif dan afektif dan Rudy (2010) dengan teori yang sama dikolaborasikan dengan psikosastra, literature for all, dan 9 pilar karakter bangsa mengembangkan pertanyaan pemandu agar dua ranah tersebut menjadi lebih tajam.
1.      Berdasarkan dialog pemeran, menurut Anda siapa yang menjadi tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita ini?
2.      Menurut Anda bagaimana tokoh protagonis tersebut? Apa yang dilakukannya sehingga ia disebut tokoh yang baik? Jelaskan?
3.      Sukakah Anda padanya? Mengapa?
4.      Adakah tokoh cerita yang anda benci? Siapa? Mengapa Anda membencinya? Sifat-sifat apa yang ada pada dirinya yang anda tidak sukai?
5.      Dimana cerita ini terjadi? Suka atau tidak sukakah Anda pada latar cerita? Mengapa?
6.      Apakah cerita tersebut menceritakan hal-hal yang baik? Masuk akalkah jalan ceritanya? 
7.      Apakah gaya bahasanya komunikatif (mudah dimengerti) atau figuratif (mengandung unsur konotatif atau kiasan)? Mohon dijelaskan.
8.      Peristiwa apa yang Anda anggap penting dalam cerita itu? Mengapa penting?
9.      Dapatkah Anda merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh cerita? Apa yang dirasakannya?
10.  Apakah Anda akan melakukan hal yang sama dilakukan tokoh cerita protagonist? Mohon dijelaskan.
11.  Dapatkah Anda membayangkan apa yang telah terjadi? Mohon beri penjelasan.
12.  Sifat manakah yang muncul dalam diri tokoh cerita yang protagonis?
a. jujur, b. baik dan rendah hati, dan c. tanggung jawab, disiplin, dan mandiri
13. Mengapa tokoh cerita yang bersifat protagonis  bertindak demikian?
14. Menurut Anda bagaimana tindakan tokoh protagonis  dalam cerita itu?
15. Setuju atau tidakkah tindakan yang dilakukan tokoh antagonis dalam cerita? Mengapa?
16. Menurut Anda, bercerita tentang apakah cerita ini?
17. Pilihlah satu kata penting menurut Anda dari cerita yang telah dibaca.
18. Mengapa kata itu sangat bermakna bagi Anda?
19. Punyakah Anda pengalaman yang serupa dengan isi cerita? (Bila tidak, Anda boleh mencoba menghubungkan isi cerita dengan yang mungkin dialami oleh saudara, orang tua, kakek, nenek, bahkan teman atau tetangga anda?
20. Pernahkah Anda menonton film yang hampir sama dengan cerita ini atau buku cerita lain yang pernah Anda baca? Coba Anda ceritakan itu dan hubungkan dengan cerita ini.
21. Coba Anda hubungkan cerita ini dengan kehidupan sosial, budaya, dan agama Anda. Bagaimana menghubungkannya?
22. Coba anda hubungkan atau ceritakan, bagaimana tokoh cerita yang anda anggap sebagai tokoh yang baik menunjukkan hal berikut: (Bila tidak tergambar dalam cerita, anda tidak perlu menjawab)
a. kasih sayang
b. peduli
c. kerjasama
d. percaya diri
e. kreatif , kerja keras, dan pantang menyerah
f. cinta Tuhan dan alam semesta
g. toleransi, cinta damai, dan persatua
23. Menarikkah jalan ceritanya? Mohon dijelaskan.
24. Bermanfaatkah cerita ini? Manfaat apakah yang Anda peroleh setelah membaca cerita ini?
25. Apa pendapat Anda tentang pengarang cerita ini?
26. Apakah tokoh cerita protagonis memiliki sifat-sifat berikut:
a. hormat, b. sopan santun, dan c. berkeadilan dan kepemimpinan.
      Sebutkan alasannya, bisa ditemukan dalam cerita.
            Sementara itu, kegiatan yang dapat mengembangkan aspek psikomotor adalah dengan cara menerapkan satu atau lebih dari empat dimensi simbol visual. Dari ke empat dimensi visual, dimensi terakhir yang sangat tepat digunakan untuk penajaman aspek psikomotor.


Simpulan
            Berdasarkan deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan karakter bangsa (peserta didik) dapat diawali dengan kegiatan membaca karya sastra lokal dan juga modern diikuti dengan mengapresiasi karya tersebut dengan cara merinci isi cerita tentang apa dan bagaimana aspek intrinsik, menyertakan perasaan, imajinasi, dan pikiran mereka pada tokoh cerita, menjelaskan mengapa tokoh cerita berkarakter demikian, memahami apa yang telah dilakukannya dan memberikan persetujuan atau tidak, menafsirkan makna yang terkandung dalam karya sastra tersebut, menghubungkan dan membandingkan isi cerita dengan pengalaman, cerita dan film yang serupa, budaya, kehidupan sosial dan religi, serta menilai pengarang dan latar cerita.            Bila dihubungkan dengan 9 pilar karakter yang harus dikembangkan melalui pembelajaran sastra dengan konsep literature for all, yaitu respons merinci, menjelaskan, memahami, dan menafsirkan dapat membentuk karakter dalam hal penalaran kritis, sedangkan respons menyertakan, menghubungkan, dan menilai dapat memfasilitasi peserta didik dalam membangun karakter yang termasuk dalam 9 pilar karakter bangsa.

REFERENSI
forumpurworejo.blogspot.com.  Menggagas Pembentukan Karakter Generasi Muda melalui Karya Sastra. http://bloggerpurworejo.com/2010/03/menggagas-pembentukan-karakter-generasi-muda-melalui-karya-sastra/ diakses 9 mei 2010
Grose, Carolyn. 2010. Storytelling Across the Curriculum: From Margin to Center, from Clinic to Classroom. Diunduh tanggal 12 Maret 2010. http://www.youtube.com/watch?v=AgJXXo97D4c

Harmer, Jeremy. 2007. The Practice of English Language Teaching (4th ed). London: Pearson  Education, Ltd.

akses 9 mei 2010

Husniah, Rohmy danYudhi Arifani. 2008. Pendidikan Budi Pekerti Melalui Pendekatan Moral dalam Pengajaran Sastra. Makalah disajikan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / HISKI, Batu, 12-14 Agustus 2008.

Kotller, Philip. 1990. “The Marketing of Nations”, dalam Sofyan Djalil dan Ratna Megawangi (2006). Peningkatan Mutu dan Pendidikan di Acehmelalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Orasi pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis Universitas Syahkuala-Banda Aceh, 2 September 2006.

Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. Indonesia Heritage Foundation, dalam Sofyan Djalil dan Ratna Megawangi (2006). Peningkatan Mutu dan Pendidikan di Acehmelalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Orasi pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis Universitas Syahkuala-Banda Aceh, 2 September 2006.

Pantaleo,  Sylvia. 2002. Children’s Literature Across Curriculum. Canadian Journal of Education.Vol. 27/2&3, p.211-230.

Porter, Sandra. 2009. Using Literature across Curriculum.  http://edtech.tph.wku.edu/~ppetty/sandraporter.htm. accessed on March 6, 2009.

Richards, Jack C. 2006. Curriculum Development in Language Teaching.New York, NY: Cambridge University Press.
Rudy, Rita Inderawati. 2005. Model Respons Nonverbal dan Verbal dalam Pembelajaran Sastra untuk Mengembangkan Keterampilan Menulis Siswa SD: Studi Kuasi-Eksperimen di SD Negeri ASMI I, III, V Kota Bandung Tahun Ajaran 2003/2004. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana UPI.
Rudy, Rita Inderawati, Dinar S., dan Zuraidah. 2007. Model Pembelajaran Sastra dalam Pendidikan Bahasa Inggris. Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol 9/No.1.

Rudy, Rita Inderawati. 2009. Pembelajaran Berbasis Respons Pembaca dan Simbol Visual untuk Mengembangkan Apresiasi Sastra dan Kemampuan Berbahasa Inggris. Forum Kependidikan. Vol. 29/No. 1.

Rudy, Rita Inderawati. 2010. Kontribusi Pembelajaran Apresiasi Sastra Lokal Bagi Industri Kreatif Indonesia. Dalam Mukmin  Suhardi, Bianglala Bahasa dan Sastra. Jakarta: Azhar Publishing.

Talib, Jihad. 2010. Pendidikan Bahasa dan Sastra Lokal dalam Masyarakat Posmodern. Makalah. STKIP Muhammadiyah Bulukumba.

Van, Truong Thi My. 2009. The Relevance of Literary Analysis to Teaching Literature in EFL Classroom. English Teaching Forum. Vol. 47/No. 3.

Vandergrift, Kay E. 2006. Linking Literature with Learning. http://comminfo.rutgers.edu/professional-development /childlit/books /linkages.html. Diunduh  26 Maret 2006

Wards, Robin A. 2009. Literature-Based Activities for Integrating Mathematics  with Other Content Areas. New York, NY: Pearson Education, Inc.

Wijaya, Putu. 2007. Pengajaran Sastra
http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra/ diakses 1 Juli 2008.