Sabtu, 19 Maret 2011

Paper presented in Bulan Bahasa Oktobe 2010 at UNJ

Mengangkat Peran Sastra Lokal dengan Konsep Sastra untuk Semua
bagi Pembentukan Karakter Bangsa

Rita Inderawati Rudy
JPBS FKIP Universitas Sriwijaya

ABSTRAK

Abad ke-21 menantang kita untuk lebih meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Lonjakan gejolak yang mewarnai persada ini tidak pernah surut memojokkan bangsa Indonesia. Berbagai kemelut yang melanda bangsa diharapkan mampu diatasi lewat jalur pendidikan. Pendidikan menjadi fenomena yang muncul sebagai sebuah kekuatan utama yang mampu mempengaruhi kualitas manusia. Dewasa ini, sering terjadi peristiwa yang kurang terpuji di kalangan pelajar. Siswa sekolah menengah melakukan tawuran dan perkelahian, sedangkan mahasiswa selain melakukan aksi perkelahian dan tawuran, mereka juga menunjukkan sifat anarkhis dan destruktif.
Ilustrasi di atas membuka lebar mata dan cakrawala berpikir SDM Indonesia yang kesehariannya bergelut dengan bahasa untuk berpartisipasi dalam membangun karakter bangsa. Landasan pembangunan nasional selayaknya tidak hanya bertumpu pada sains dan teknologi tetapi juga harus berlandaskan humaniora. Salah satu cabang ilmu sosial yang dapat menjadi alternatif merajut tatanan kenegaraan dan menjadi alat pengendali arogansi iptek adalah sastra. Membaca karya sastra  tidak  hanya menghibur, tetapi juga memberikan nilai-nilai moral yang dapat memperhalus budi pekerti dan mendukung terbentuknya watak dan kepribadian yang dilandasi oleh iman dan taqwa (Rudy, 2009).
Aspek kecerdasan, kebajikan, moral, dan kebijaksanaan dapat ditingkatkan melalui sastra. Kecerdasan emosional dapat diberdayakan dengan mengaktifkan penafsiran terhadap karya sastra secara bebas, liar, dan meronta-ronta dengan mengaplikasikan strategi respons pembaca, bukan gaya (genre) sastra, siapa tokoh cerita atau siapa pengarangnya yang menjadi motor pencerdas tersebut. Dengan kata lain, sastra mampu menjadi motor penggerak yang efektif untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut.

Makalah ini bertujuan untuk mengenalkan pembelajaran sastra yang berbasis respons pembaca sebagai mata kuliah tambahan atau muatan lokal (local content) atau terintegrasi ke dalam mata kuliah kepribadian di perguruan tinggi  dan mengangkat sastra lokal  dengan konsep Sastra untuk Semua sebagai media bagi mahasiswa untuk mengidentifikasi dan  mempertahankan budaya lokal, serta memperoleh manfaatnya dalam memperhalus budi pekerti, membentuk karakter dan mengembangkan kepribadian.

Kata-kata Kunci: Sastra untuk Semua, sastra lokal, respons pembaca, karakter bangsa, 





1)       Dipaparkan dalam Seminar Nasional Bulan Bahasa 2010 di Universitas Negeri Jakarta pada tanggal 30 Oktober 2010
2)       Dosen JPBS Universitas Sriwijaya Palembang
Pendahuluan

Abad ke-21 menantang kita untuk lebih meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Lonjakan gejolak yang mewarnai persada ini tidak pernah surut memojokkan bangsa Indonesia. Berbagai kemelut yang melanda bangsa diharapkan mampu diatasi lewat jalur pendidikan. Pendidikan menjadi fenomena yang muncul sebagai sebuah kekuatan utama yang mampu mempengaruhi kualitas manusia. Dewasa ini, sering terjadi peristiwa yang kurang terpuji di kalangan pelajar. Siswa sekolah menengah melakukan tawuran dan perkelahian, sedangkan mahasiswa selain melakukan aksi perkelahian dan tawuran, mereka juga menunjukkan sifat anarkhis dan destruktif.
Ilustrasi di atas membuka lebar mata dan cakrawala berpikir SDM Indonesia yang kesehariannya bergelut dengan bahasa untuk turut mengambil bagian dalam membangun karakter bangsa. Landasan pembangunan nasional selayaknya tidak hanya bertumpu pada sains dan teknologi tetapi juga harus berlandaskan humaniora. Salah satu cabang ilmu sosial yang dapat menjadi alternatif merajut tatanan kenegaraan dan menjadi alat pengendali arogansi iptek adalah sastra. Membaca karya sastra  tidak  hanya menghibur, tetapi juga memberikan nilai-nilai moral yang dapat memperhalus budi pekerti dan mendukung terbentuknya watak dan kepribadian yang dilandasi oleh iman dan taqwa (Rudy, 2009). Sejalan dengan kenyataan ini, Husniah dan Arifani (2010) mengemukakan hal berikut.
Saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan pendidikan Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis, kurang toleran dalam menghadapi perbedaan, dan korup. Selain pengajaran agama, salah satu pelajaran yang mengajarkan budi pekerti ialah sastra. Membaca sastra berarti mengenal berbagai karakter yang sebagian besar merupakan refleksi dari realitas kehidupan. Dengan demikian, pembaca akan memahami motif yang dilakukan setiap karakter baik yang protagonis maupun yang antagonis sehingga pembaca dapat memahami alasan pelaku dalam setiap perbuatannya.

"Sastra juga mengajarkan karakter tanpa harus menggurui lewat cerita-cerita yang membangun karakter bangsa. Masyarakat saat ini membutuhkan `role model` yang kuat," dinyatakan oleh Yudi Latif, saat peluncuran bukunya Menyemai Karakter Bangsa. Pernyataan ini mengiringi gugatan para pakar tentang peranan pendidikan yang mengabaikan sastra dalam membangun karakter bangsa; bahwa posisi dan porsi sastra sangat kecil di bidang pendidikan bahasa. Keprihatinannya terhadap pudarnya karakter bangsa dapat dipengaruhi oleh dua bahasa yang mendominasi persada Indonesia ini, yaitu bahasa politik yang berorientasi siapa pemenang (winner-oriented) dan bahasa ekonomi yang berorientasi keuntungan (benefit-oriented), namun kapan bahasa sastra dengan fokus etika akan dibahas? seperti yang dikritik oleh Rushord Kidder (pakar etika). Suatu negara bisa saja kehilangan politikus atau ekonom maka akan digantikan oleh negarawan lainnya, namun bila negara sudah kehilangan karakter berbangsa maka punahlah bangsa itu. Negarawan ataupun penyelenggara kehidupan bernegara dan berbangsa harus menjadi teladan bagi masyarakat, mereka harus menjadi panutan. Lebih jauh ia menegaskan tiga dimensi yang mempengaruhi pembentukan karakter bangsa: kesadaran  perbedaan sebagai suatu bangsa, ketegaran, dan moral bangsa.  
Sejak tahun 1971, pakar sastra barat L.B. Moody sudah menggambarkan sastra dalam posisi yang sangat memprihatinkan. Padahal dengan porsi yang sedemikian kecilnya, para pakar sastra secara teoretis telah mengemukakan pentingnya sastra diajarkan. Sastra membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa serta penunjang pembentukan watak (Moody,1971; Carter dan Long,1991; dan Tarigan, 1995).
Pentingnya kehadiran sastra dalam pembelajaran dijelaskan oleh   Rosenblatt  dalam Rudy (2005:81) sebagai berikut: 1) sastra mendorong kebutuhan atas imajinasi dalam demokrasi, 2) sastra mengalihkan imajinasi dan perilaku, sikap emosi, dan ukuran nilai sosial serta pribadi, 3) sastra menyajikan kemungkinan perbedaan pandangan hidup, pola hubungan, dan filsafat, 4) sastra membantu pemilihan imajinasi yang berbeda melalui pengalaman mengkaji karya sastra, 5) pengalaman sastra memungkinkan pembaca memandang kepribadiannya sendiri dan masalah-masalahnya secara objektif dan memecahkannya dengan lebih baik, dan 6) sastra memberikan kenyataan kepada orang dewasa sistem nilai yang berbeda sehingga mereka terbebas dari rasa takut, bersalah dan tidak pasti.
Sepakat dengan rincian Rosenblatt di atas, aspek kecerdasan, kebajikan, moral, dan kebijaksanaan dapat ditingkatkan melalui sastra. Kecerdasan emosional peserta didik dapat diberdayakan dengan mengaktifkan penafsiran terhadap karya sastra secara bebas, liar, dan meronta-ronta, bukan gaya (genre) sastra, siapa tokoh cerita atau siapa pengarangnya yang menjadi motor pencerdas tersebut. Dengan kata lain, sastra mampu menjadi motor penggerak yang efektif untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut.
Manfaat pembelajaran sastra sudah sangat banyak dikemukakan para ahli sastra. Ironisnya, teori-teori yang membahas manfaat sastra belum menyentuh tataran praktis. Untuk mencapai tataran praktis, teori-teori tersebut harus dieksplorasi dan dianalisis ke arah terciptanya pembelajaran sastra yang estetik, pembelajaran yang mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pembelajaran sastra yang dapat mengembangkan ketiga aspek penting tersebut telah diteliti dan dikembangkan. Rudy (2001) menemukan bahwa apresiasi sastra dengan mengaplikasikan strategi respons pembaca dapat meningkatkan kemampuan apresiasi sastra mahasiswa. Pada tahun 2005, Rudy meneliti bahwa kemampuan menulis siswa SD dapat meningkat dengan mengapresiasi karya sastra yang menggunakan respons pembaca dan simbol visual. Penelitian-penelitian selanjutnya merupakan penelitian pengembangan yang penulis lakukan agar pembelajaran sastra dengan kolaborasi respons pembaca dan respons simbol visual berkontribusi positif terhadap apresiasi sastra dengan memanfaatkan sastra lokal untuk turut melestarikan budaya lokal Indonesia. Talib (2010) turut memberikan penekanan mengenai hal itu sebagai berikut.
Dengan melihat pentingnya peranan bahasa dan sastra lokal dalam masyarakat, maka perlu dilakukan pelestarian sedini mungkin. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah dengan mengaktifkan kembali kegiatan pewarisan budaya lokal atau leluhur yang mempunyai makna luhur baik melalui jalur keluarga, terutama jalur pendidikan.

Jejak penelitian yang mengangkat respons pembaca dan respons simbol visual sebagai paradigma baru apresiasi sastra yang mementingkan peran pembaca ketika bergaul dengan karya sastra diikuti oleh peneliti-peneliti lainnya sebagai bukti bahwa kolaborasi kedua respons efektif meningkatkan kemampuan mengapresiasi karya sastra yang tidak hanya mencerdaskan kognisi  tetapi juga afeksi peserta didik. Selain itu, hasil penelitian tersebut diaplikasikan dalam pembelajaran di berbagai jenjang pendidikan setidaknya oleh para peneliti lanjutan dan mahasiswa yang telah menjadi subjek penelitian. Dengan demikian, kolaborasi respons hasil penelitian  menjadi obat mujarab yang ampuh (panasea) bagi pembentukan karakter peserta didik karena unsur-unsur pembangun karya sastra bukan hanya diidentifikasi tetapi dieksplorasi tanpa takut terbelenggu dalam kata-kata.
Paparan di atas memberikan gambaran singkat mengenai pentingnya pembelajaran sastra diajarkan di seluruh jenjang pendidikan. Makalah ini lebih jauh membahas tentang peta penelitian (roadmap) mengapresiasi karya sastra dan pembelajaran apresiasi sastra sebagai mata kuliah tambahan atau muatan lokal (local content) atau terintegrasi ke dalam mata kuliah kepribadian dengan konsep literature for all di jurusan atau program studi non bahasa di fakultas keguruan agar mahasiswa dapat memperhalus budi pekerti dan mengembangkan watak dan kepribadian yang baik selama menekuni perkuliahan. Pada akhirnya, pembelajaran apresiasi sastra dapat diperkenalkan dan diimplementasikan pada fakultas-fakultas non kependidikan dengan mengeksplorasi karya sastra lokal atau karya sastra dengan genre novel atau karya sastra yang berlatar-belakang bidang keilmuan mahasiswa masing-masing dan mengapresiasinya dengan mengaplikasikan kolaborasi respons pembaca dan respons simbol visual.

Konsep Literature for All Sebagai Mulok dalam Membentuk Karakter Bangsa
Gagasan konsep Literature for All dalam mengapresiasi karya sastra secara spontan penting penulis kemukakan setelah mendapatkan informasi baik secara lisan maupun tulisan bahwa masyarakat di mancanegara apapun kedudukannya dalam kehidupan bermasyarakat masih tetap membaca karya sastra untuk menumbuhkan sikap dan kepribadian yang berkarakter karena membaca karya sastra telah mereka peroleh sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Megawangi (2004) menyebutkan 9 pilar karakter yang mengandung nilai-nilai luhur universal yaitu: 1) cinta tuhan dan alam semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, 3) kejujuran, 4) hormat dan sopan santun, 5) kasih saying, kepedulian, dan kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Nilai-nilai inilah yang harus dikembangkan dalam diri peserta didik melalui apresiasi karya sastra. Mereka akan memotret tokoh cerita dan penokohannya untuk mengeksplorasi kemungkinan ditemukannya ke sembilan pilar karakter bangsa yang tersembunyi di balik tindakan dan perilaku tokoh cerita.
Dalam pengamatan penulis, selama ini apresiasi karya sastra hanya diberikan kepada siswa di seluruh jenjang pendidikan dan mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra dengan pendekatan struktural. Gejolak dan berbagai fenomena yang terjadi di kalangan pelajar menyudutkan dunia pendidikan yang gagal menghantarkan peserta didik menjadi manusia yang berkarakter. Saat ini percarian terhadap model pembelajaran yang mampu mengembangkan kepribadian dan menajamkan afeksi siswa sedang digalakkan. Seluruh elemen bangsa berupaya di bidangnya masing-masing menemukan cara yang efektif menghasilkan SDM yang bermental dan bermoral baik.
Penggalakan bentuk pembelajaran yang berkarakter memotivasi penulis untuk menggagas konsep sastra untuk semua. Gagasan konsep ini terinspirasi dari istilah education for all yang telah dikumandangkan dalam satu dasawarsa oleh Kementrian Pendidikan Nasional, diikuti dengan science for all yang digaungkan oleh Kementrian Riset dan Teknologi tiga tahun terakhir. Secara spesifik, konsep literature for all belum pernah dikedepankan dalam rangka mengembangkan pendidikan yang berkarakter. Dalam skala mikro, sastra untuk semua dalam makalah ini menngindikasikan bahwa sastra bukan hanya milik mahasiswa jurusan bahasa, tetapi juga mahasiswa non-bahasa. Meskipun demikian, banyak juga kalangan yang menginginkan pendidikan yang berkarakter melalui pembelajaran sastra. Di antaranya, forumpurworejo.blogspot.com (2010) mengungkapkan:
Kerinduan generasi muda akan karya sastra, memang tidak mengglobal, akan tetapi justeru hal inilah kelemahan dunia sastra kita. Ia semakin dijauhi saja. Padahal karya sastra dapat membentuk karakter generasi bangsa kita. Adalah besar harapan pembentukan karakter generasi bangsa, karakter masyarakat khususnya di Purworejo dapat terjembatani melalui Dewan Kesenian Purworejo, sehingga dapatlah terkondisikan pementasan karya seni semisal karya sastra dan ekspresi seni yang lain, seperti seni teater, seni pedalangan, seni tari, seni karawitan. sampai seni-seni tradisional yang khas di Purworejo dapat tetap eksis dan terbina.

Kutipan di atas diperkuat juga oleh pendapat Kotller (1990) bahwa majunya suatu bangsa ditentukan oleh nilai dan karakter yang menjadi modal kehidupan sosial dan berbangsa dimana kualitas dan perilaku masyarakat sebagai faktor budaya yang menjadi modal sosial (social capital)  merupakan kunci sukses keberhasilan sebuah negara yang ditentukan oleh sejauh mana negara tersebut mempunyai budaya yang kondusif  untuk maju. Sementara itu, kalangan sastrawan yang diwakili oleh Putu Wijaya pun berharap pembelajaran sastra harus dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa (Wijaya, 2007). Berbagai pendapat tersebut pada akhirnya memfasilitasi penulis untuk memberdayakan pembelajaran sastra berbasis respons pembaca dan simbol visual yang sudah teruji melalui beberapa penelitian yang telah penulis lakukan dalam kurun waktu 12 tahun ini untuk mengembangkan karakter bangsa sehingga sembilan pilar karakter bangsa dapat terwujud.
Masalah pokok yang muncul ketika gagasan akan diimplementasikan ke dalam pembelajaran adalah posisi yang tepat dari mata kuliah tersebut di dalam kurikulum dan tenaga pengajarnya. Di awal telah dipaparkan bahwa gagasan sastra untuk semua dapat menjadi muatan lokal atau terintegrasi dalam rumpun mata kuliah kepribadian. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikutip dari Bataviase.co.id berikut.
Dalam setiap perkembangan sastra ada rantai kerja sama simbiosis mutualisme yang harus terbangun antara Pemerintah, media massa, LSM, komunitas-komunitas seni dan sastra serta masyarakat. Di sinilah peranan setiap komponen untuk saling menjaga dan mendukung, melestarikan sastra dan kebudayaan Indonesia. Negara yang kaya akan kebudayaan dan suku. Kaya berbagai sudut pandang tapi satu tujuan. Pastinya kita sebagai arek Indonesia tidak ingin kecolongan. Upaya untuk mengenalkan kebudayaan kepada generasi penerus harus terus dilakukan. Mengembalikan muatan lokal. Namun, sebagian daerah di Indonesia menghapus muatan lokal dari kurikulum.
Ironisnya, muatan lokal di beberapa sekolah dihapuskan. Peniadaan muatan lokal dari kurikulum beberapa daerah disinyalir karena kekurangpahaman pendidik dan jajarannya terhadap esensi muatan lokal. Oleh karena itu, diharapkan makalah ini dapat memberi manfaat di bidang pendidikan dengan memasukkan pembelajaran apresiasi sastra ke dalam muatan lokal di perguruan tinggi fakultas pendidikan sebagai bekal bagi mahasiswa calon pendidik di seluruh jenjang pendidikan turut membantu membentuk karakter bangsa (peserta didiknya).
Apresiasi Sastra di Perguruan Tinggi

                Gagasan konsep literature for all dalam makalah ini dibatasi untuk mahasiswa keguruan non-kebahasaan. Pembelajaran apresiasi sastra yang dimaksud tidak akan dilakukan secara klasikal melainkan secara praktis dengan memberikan seperangkat pertanyaan pemandu yang telah disusun berdasarkan teori respons pembaca dan simbol visual. Karya sastra yang digunakan mahasiswa diutamakan sastra lokal seperti legenda dan cerita rakyat agar mahasiswa mengenal sastra daerahnya sendiri. Sebagai tambahan, novel atau cerita pendek modern dengan latar cerita sesuai dengan bidang ilmu mahasiswa sangat tepat dibaca dan diapresiasi. Sementara itu, mahasiswa tidak perlu lagi diberi perlakuan model pembelajaran; mahasiswa dapat dengan segera mengapresiasi karya sastra dengan panduan pertanyaan tersebut.  Beach dan Marshall (1991:28) mengedepankan strategi respons pembaca terdiri atas tujuh strategi yaitu:  menyertakan, merinci, menjelaskan, memahami, menafsirkan, menghubungkan, dan menilai. Berikut ini penjelasan dan panduan merespons karya sastra.
1.      Menyertakan (engaging): Pembaca selalu berusaha mengikutsertakan perasaannya terhadap karya sastra yang dibacanya. Pembaca meleburkan diri ke dalam teks, membayangkan apa yang terjadi dan merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh cerita.
Purves, dkk. (1990) menambahkan definisi di atas bahwa ketika membaca karya sastra pembaca tidak hanya menyertakan perasaan tetapi menyertakan pikiran dan imajinasi juga sebagaimana yang dikutip dari pernyataan mereka “Literature and the arts exist in the curriculum as a means for students to learn to express their emotions, their thought, and their imaginations.”
 Menurut Kimtafsirah (2003:6) pembaca yang sedang “engaged” dengan teks, meleburkan diri dengan teks dalam istilah Rosenblatt sedang menerapkan aesthetic reading. Dalam aesthetic reading, pembaca seolah-olah masuk ke dalam teks dan hidup di sana agar dapat memahami tingkah laku para tokoh cerita. Dengan demikian, pembaca dapat merespons secara emosional dengan mudah sehingga pemahaman tercapai.
2. Merinci (describing): Pembaca merinci atau menjelaskan kembali informasi yang tertera di dalam teks. 
Pembaca merinci tokoh-tokoh cerita, penokohan, latar cerita, dan alur cerita. Artinya, pembaca menceritakan kembali cerita yang telah dibacanya dan merinci peristiwa-peristiwa yang dianggap penting untuk dipahami.  Ketika membaca sebuah teks sastra, akan ditemukan hal-hal yang berbeda dalam teks yang sama. Mahasiswa menceritakan bagian-bagian yang menarik perhatian mereka, setidaknya dalam tiga kalimat. Sebelumnya, mereka dapat merinci semua unsur pembangun karya sastra secara struktural seperti: tokoh dan penokohannya, latar, dan alur cerita.
            Penerapan respons ini dapat memfasilitasi peserta didik dalam mencapai kejujuran, kasih sayang, dan kepedulian. Setelah membaca Malin Kundang, pertanyaan pertama diajukan kepada mereka. Malin Kundang sebagai tokoh yang durhaka dalam cerita itu menuai kritik yang tajam dari hasil apresiasi. Peserta didik tidak akan menyukai tindakan dan perilaku sang tokoh. Mereka belajar jujur, kasih sayang, dan peduli setelah mengapresiasi dan mengeksplorasi cerita tersebut.
3. Memahami (conceiving): Pembaca memahami tokoh, latar cerita, dan bahasa yang digunakan dalam sebuah cerita dan memaknainya.                           
Dalam kegiatan ini, mahasiswa memahami para tokoh cerita dengan menerapkan pengetahuan mereka tentang tingkah laku sosial dalam masyarakat dan latar belakang budaya. Pemahaman terhadap tokoh cerita tersebut didukung pula oleh pendapat Kimtafsirah (2003:7) bahwa pengetahuan tentang teks tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman social behaviour dan cultural background yang direfleksikan dari teks. Sebagai contoh, ketika mahasiswa membaca cerita dengan adat istiadat dan latar budaya yang berbeda dengan mereka maka mereka dapat memahami tingkah laku tokoh cerita tersebut bukan berasal dari budaya mereka.
4. Menerangkan (explaining): Mahasiswa mencoba menjelaskan sebaik-mungkin mengapa tokoh cerita melakukan suatu tindakan.                                                   
5. Menghubungkan (connecting): Mahasiswa menghubungkan pengalaman mereka dengan apa yang terjadi pada tokoh cerita.
            Kegiatan lain dalam strategi ini adalah menghubungkan cerita dengan cerita lain atau film pernah dibaca atau ditonton. Kimtafsirah (2003:8) mengilustrasikan seperti contoh berikut: setelah membaca karya Charles Dicken Oliver Twist, mahasiswa dapat membandingkannya dengan film Ari Hanggara. Begitu juga dengan Oemarjati (2005) yang menyarankan guru “menanyakan kepada para siswa, apakah ada yang pernah membaca kisah yang serupa, atau menonton film atau sinetron dengan persoalan dasar serupa dengan karya sastra yang sedang  dibahas yaitu Siti Nurbaya.
            Berdasarkan kegiatan-kegiatan dalam connecting tersebut, Penzenstadler (1999) mengingatkan bahwa  dengan segala sesuatu yang digunakan sebagai media pembelajaran, guru dapat menolong siswa menghubungkan apa yang mereka baca dengan dunia mereka (http://www.ade.org/ade/bulletin/n123/123036.htm).
6. Menafsirkan (interpreting): Siswa menggunakan reaksi, konsepsi, dan koneksi yang mereka bentuk untuk mengartikulasikan tema.
            Kegiatan interpreting melibatkan penentuan makna-makna simbolik, tema, atau peristiwa spesifik dari suatu teks. Dalam membuat penafsiran, biasanya yang didiskusikan adalah apa yang teks “ungkapkan.” Interpretasi melibatkan generalisasi, pernyataan yang dibuat bukan pernyataan yang ada di dalam teks melainkan terimplisit di dalam teks.
7. Menilai (judging): Mahasiswa memberikan pendapatnya tentang teks cerita, penulis cerita atau alur cerita.
Ke tujuh respons pembaca tersebut mengandung unsur-unsur yang dapat menajamkan kognisi (merinci, menerangkan, memahami, dan menafsirkan) dan afeksi (menyertakan, menghubungkan, dan menilai).
                Untuk lebih mengarah pada pembentukan karakter mahasiswa, teori respons pembaca ini dikolaborasikan dengan respons simbol visual, teori psikosastra, dan pilar karakter bangsa. Respons simbol visual terdiri atas dimensi grafik: sosiogram, peta cerita, grafik, diagram, dan kartun; dimensi ilustrasi: poster, gambar, foto, kolasi;dimensi film/video: naskah cerita, animasi, efek khusus, dan film; dan dimensi seni pertunjukan: tablo, menari, pantomim, dan musik dikemukakan oleh Purves, dkk. (1990).  Sementara itu, teori psikosastra berupa operasi dasar terdiri atas yang dikemukakan oleh Strickland (1977) dalam Tarigan (1995:39) terdiri atas mengamati, membandingkan, mengklasifikasikan, menghipotesis, mengorganisasikan, merangkum,  menerapkan, dan mengritik. Sedangkan pilar karakter bangsa yang dikutip dari Megawangi (2004) terdiri atas:  1) kejujuran, 2) hormat dan sopan santun, 3) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, 4) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, 5) keadilan dan kepemimpinan, 6) baik dan rendah hati, 7) cinta tuhan dan alam semesta beserta isinya, 8) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian,  dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan.
            Untuk memandu kegiatan apresiasi, pertanyaan-pertanyaan dibuat oleh Rudy (2008) dari teori respons pembaca yang menajamkan ranah kognitif dan afektif dan Rudy (2010) dengan teori yang sama dikolaborasikan dengan psikosastra, literature for all, dan 9 pilar karakter bangsa mengembangkan pertanyaan pemandu agar dua ranah tersebut menjadi lebih tajam.
1.      Berdasarkan dialog pemeran, menurut Anda siapa yang menjadi tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita ini?
2.      Menurut Anda bagaimana tokoh protagonis tersebut? Apa yang dilakukannya sehingga ia disebut tokoh yang baik? Jelaskan?
3.      Sukakah Anda padanya? Mengapa?
4.      Adakah tokoh cerita yang anda benci? Siapa? Mengapa Anda membencinya? Sifat-sifat apa yang ada pada dirinya yang anda tidak sukai?
5.      Dimana cerita ini terjadi? Suka atau tidak sukakah Anda pada latar cerita? Mengapa?
6.      Apakah cerita tersebut menceritakan hal-hal yang baik? Masuk akalkah jalan ceritanya? 
7.      Apakah gaya bahasanya komunikatif (mudah dimengerti) atau figuratif (mengandung unsur konotatif atau kiasan)? Mohon dijelaskan.
8.      Peristiwa apa yang Anda anggap penting dalam cerita itu? Mengapa penting?
9.      Dapatkah Anda merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh cerita? Apa yang dirasakannya?
10.  Apakah Anda akan melakukan hal yang sama dilakukan tokoh cerita protagonist? Mohon dijelaskan.
11.  Dapatkah Anda membayangkan apa yang telah terjadi? Mohon beri penjelasan.
12.  Sifat manakah yang muncul dalam diri tokoh cerita yang protagonis?
a. jujur, b. baik dan rendah hati, dan c. tanggung jawab, disiplin, dan mandiri
13. Mengapa tokoh cerita yang bersifat protagonis  bertindak demikian?
14. Menurut Anda bagaimana tindakan tokoh protagonis  dalam cerita itu?
15. Setuju atau tidakkah tindakan yang dilakukan tokoh antagonis dalam cerita? Mengapa?
16. Menurut Anda, bercerita tentang apakah cerita ini?
17. Pilihlah satu kata penting menurut Anda dari cerita yang telah dibaca.
18. Mengapa kata itu sangat bermakna bagi Anda?
19. Punyakah Anda pengalaman yang serupa dengan isi cerita? (Bila tidak, Anda boleh mencoba menghubungkan isi cerita dengan yang mungkin dialami oleh saudara, orang tua, kakek, nenek, bahkan teman atau tetangga anda?
20. Pernahkah Anda menonton film yang hampir sama dengan cerita ini atau buku cerita lain yang pernah Anda baca? Coba Anda ceritakan itu dan hubungkan dengan cerita ini.
21. Coba Anda hubungkan cerita ini dengan kehidupan sosial, budaya, dan agama Anda. Bagaimana menghubungkannya?
22. Coba anda hubungkan atau ceritakan, bagaimana tokoh cerita yang anda anggap sebagai tokoh yang baik menunjukkan hal berikut: (Bila tidak tergambar dalam cerita, anda tidak perlu menjawab)
a. kasih sayang
b. peduli
c. kerjasama
d. percaya diri
e. kreatif , kerja keras, dan pantang menyerah
f. cinta Tuhan dan alam semesta
g. toleransi, cinta damai, dan persatua
23. Menarikkah jalan ceritanya? Mohon dijelaskan.
24. Bermanfaatkah cerita ini? Manfaat apakah yang Anda peroleh setelah membaca cerita ini?
25. Apa pendapat Anda tentang pengarang cerita ini?
26. Apakah tokoh cerita protagonis memiliki sifat-sifat berikut:
a. hormat, b. sopan santun, dan c. berkeadilan dan kepemimpinan.
      Sebutkan alasannya, bisa ditemukan dalam cerita.
            Sementara itu, kegiatan yang dapat mengembangkan aspek psikomotor adalah dengan cara menerapkan satu atau lebih dari empat dimensi simbol visual. Dari ke empat dimensi visual, dimensi terakhir yang sangat tepat digunakan untuk penajaman aspek psikomotor.


Simpulan
            Berdasarkan deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan karakter bangsa (peserta didik) dapat diawali dengan kegiatan membaca karya sastra lokal dan juga modern diikuti dengan mengapresiasi karya tersebut dengan cara merinci isi cerita tentang apa dan bagaimana aspek intrinsik, menyertakan perasaan, imajinasi, dan pikiran mereka pada tokoh cerita, menjelaskan mengapa tokoh cerita berkarakter demikian, memahami apa yang telah dilakukannya dan memberikan persetujuan atau tidak, menafsirkan makna yang terkandung dalam karya sastra tersebut, menghubungkan dan membandingkan isi cerita dengan pengalaman, cerita dan film yang serupa, budaya, kehidupan sosial dan religi, serta menilai pengarang dan latar cerita.            Bila dihubungkan dengan 9 pilar karakter yang harus dikembangkan melalui pembelajaran sastra dengan konsep literature for all, yaitu respons merinci, menjelaskan, memahami, dan menafsirkan dapat membentuk karakter dalam hal penalaran kritis, sedangkan respons menyertakan, menghubungkan, dan menilai dapat memfasilitasi peserta didik dalam membangun karakter yang termasuk dalam 9 pilar karakter bangsa.

REFERENSI
forumpurworejo.blogspot.com.  Menggagas Pembentukan Karakter Generasi Muda melalui Karya Sastra. http://bloggerpurworejo.com/2010/03/menggagas-pembentukan-karakter-generasi-muda-melalui-karya-sastra/ diakses 9 mei 2010
Grose, Carolyn. 2010. Storytelling Across the Curriculum: From Margin to Center, from Clinic to Classroom. Diunduh tanggal 12 Maret 2010. http://www.youtube.com/watch?v=AgJXXo97D4c

Harmer, Jeremy. 2007. The Practice of English Language Teaching (4th ed). London: Pearson  Education, Ltd.

akses 9 mei 2010

Husniah, Rohmy danYudhi Arifani. 2008. Pendidikan Budi Pekerti Melalui Pendekatan Moral dalam Pengajaran Sastra. Makalah disajikan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / HISKI, Batu, 12-14 Agustus 2008.

Kotller, Philip. 1990. “The Marketing of Nations”, dalam Sofyan Djalil dan Ratna Megawangi (2006). Peningkatan Mutu dan Pendidikan di Acehmelalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Orasi pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis Universitas Syahkuala-Banda Aceh, 2 September 2006.

Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. Indonesia Heritage Foundation, dalam Sofyan Djalil dan Ratna Megawangi (2006). Peningkatan Mutu dan Pendidikan di Acehmelalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Orasi pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis Universitas Syahkuala-Banda Aceh, 2 September 2006.

Pantaleo,  Sylvia. 2002. Children’s Literature Across Curriculum. Canadian Journal of Education.Vol. 27/2&3, p.211-230.

Porter, Sandra. 2009. Using Literature across Curriculum.  http://edtech.tph.wku.edu/~ppetty/sandraporter.htm. accessed on March 6, 2009.

Richards, Jack C. 2006. Curriculum Development in Language Teaching.New York, NY: Cambridge University Press.
Rudy, Rita Inderawati. 2005. Model Respons Nonverbal dan Verbal dalam Pembelajaran Sastra untuk Mengembangkan Keterampilan Menulis Siswa SD: Studi Kuasi-Eksperimen di SD Negeri ASMI I, III, V Kota Bandung Tahun Ajaran 2003/2004. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana UPI.
Rudy, Rita Inderawati, Dinar S., dan Zuraidah. 2007. Model Pembelajaran Sastra dalam Pendidikan Bahasa Inggris. Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol 9/No.1.

Rudy, Rita Inderawati. 2009. Pembelajaran Berbasis Respons Pembaca dan Simbol Visual untuk Mengembangkan Apresiasi Sastra dan Kemampuan Berbahasa Inggris. Forum Kependidikan. Vol. 29/No. 1.

Rudy, Rita Inderawati. 2010. Kontribusi Pembelajaran Apresiasi Sastra Lokal Bagi Industri Kreatif Indonesia. Dalam Mukmin  Suhardi, Bianglala Bahasa dan Sastra. Jakarta: Azhar Publishing.

Talib, Jihad. 2010. Pendidikan Bahasa dan Sastra Lokal dalam Masyarakat Posmodern. Makalah. STKIP Muhammadiyah Bulukumba.

Van, Truong Thi My. 2009. The Relevance of Literary Analysis to Teaching Literature in EFL Classroom. English Teaching Forum. Vol. 47/No. 3.

Vandergrift, Kay E. 2006. Linking Literature with Learning. http://comminfo.rutgers.edu/professional-development /childlit/books /linkages.html. Diunduh  26 Maret 2006

Wards, Robin A. 2009. Literature-Based Activities for Integrating Mathematics  with Other Content Areas. New York, NY: Pearson Education, Inc.

Wijaya, Putu. 2007. Pengajaran Sastra
http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra/ diakses 1 Juli 2008.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda